kitasama.or.id – Di Malam awal Romadlan versi Nahdliyin, tepat pada Senin malam Selasa (11 Maret 2024) adzan maghrib berkumandang meramaikan seluruh langit Paciran. Suara-suara yang mewakili Tuhan untuk melaksanakan sholat saling berkumandang untuk menjadi “panggilan terbaik” versi Tuhan. Saya bersama adik saya, Murdiono dan anak saya (Antadziya Li’aini) berniat berziarah ke makam guru ngaji saya, yang menginisiasi saya sebagai santri yang hatam al-Qur’an bin nadzhar.
“Gelap, sunyi, mencekam, kotor dan becek”. Itulah kesan pertama yang saya temui ketika memasuki kawasan makam abah Bihin di tanah bekas tegalan (ngalas) Legundi. Terpancar jelas jika makam itu setiap harinya tidak ada yang mengunjunginya, tidak ada yang menjadi penjaga yang menyalahkan lampu dan menyapu lantainya, dan tentunya tidak ada orang kampung (sekitar makam) yang berswadaya untuk memberikan sedikit tenaganya—menyapu atau menyalahkan lampu makam.
Sejatinya makam itu sudah rapi, sedikit representatif—sejak haul ke-14 kemarin, kamar mandi dan tempat wudlu sudah ada sehingga memberikan kemudahan santri/orang untuk mengambil wudlu—sholat, tahlillan atau nderes al-Qur’an. Lantai pinggiran makamnya abah juga sudah terpaving rapi dan sisi Timur-Baratnya sudah layak untuk menikmati kawasan makam. Tapi dengan menyaksikan kondisi malam itu, nampaknya santri yang nderes atau orang yang kolo-kolo ke makam bisa dikatakan “tidak ada”.
Apa yang terjadi dengan makam Guru Ngaji saya itu? Saya tidak bisa memberikan opini atau prediksi, hanya merasa bersalah dan merasa berdosa terhadap guru yang telah meluangkan banyak waktunya untuk mengajar saya membaca al-Qur’an.
Kondisi makam yang demikian itu tidak memerlukan sosok yang perlu disalahkan, tidak perlu ada pihak-pihak yang menjadi sasaran kesalahan, karena yang salah adalah para santrinya (yang pernah diajar mengaji), termasuk saya yang tidak bisa memberikan “perawatan dan pelayanan” terhadap “rumah keabadian guru” saya yang sudah nyaman dan tinggal “merawatnya saja”.
Saya mencari-cari sumber listrik—keteku di tiang barat daya, sakelarnya saya tekan dan lampu langsung menyala. Makam menjadi terang dan saya langsung bisa melakukan kegiatan yang seharunya—menyapu lantai.
Menyalakan lampu, menyapu lantai, mengambil wudlu, sholat maghrib, beramal rutin—dzikir tahlil, dan kemudian menghadapi ke makam abah Bihin sambil membacakan tahlil dan menyiramkan air tawajuh yang saya peroleh dari suluk Isra’ Mi’raj di Sidayu bulan lalu.
Datang ke makam orang tua, guru ngaji, atau sanak keluarga di hari (terakhir sya’ban) memasuki bulan Ramadlan adalah sebuah habits yang menyusun serpihan-serpihan peradaban muslim Indonesia. Mendoakan ahli kubur, membersihkan makamnya dari ilalang, merapikan posisi makam, dan menaburkan bunga di atas makam adalah kegiatan wajar dan melekat yang dilakukan oleh “manusia-manusia santri” yang menyakini bahwa semua itu penting untuk menyertai keberhasilan hidup.
Sehingga sudah menjadi sebuah kelaziman dan sebuah konsekwensi seorang santri untuk merawat habits ke makam guru ngajinya sambil mengerjakan semua kegiatan yang wajar-wajar itu, dan jika perlu nderes al-Qur’an sampai hatam sejak pagi tadi.
Adzan isya’ berkumandang memenuhi langit Paciran, saya pun mengajak Murdiono untuk berjamaah isya’ dan tarawih di makam abah Bihin sekalian, sehingga di malam pertama tarawih 2024/1445 H ini saya mendirikannya di makam guru ngaji saya. Setelah tarawih saya duduk, menyandarkan tubuh di salah satu tiang bangunan, sambil mendapatkan beberapa kata (ilham) yang mengusik hati saya.
Pertama, Semua Santri Berox Legundi Salah, karena tidak mempunyai upaya dan kesadaran untuk menjaga kebersihan dan keterawatan makam guru ngajinya.
Kedua, Semua Santri Berox Legundi salah, karena memilih menyibukkan dirinya larut dalam kegiatan mencari uang, terlelap pada pekerjaan dan melupakan kondisi makam gurunya.
Ketiga, Semua Santri Berox salah, karena tidak menyadari perihal yang sangat penting bahwa mengajarkan membaca al-Qur’an pada santri tidak bisa dikalahkan dengan beratnya 10 ton emas, sehingga sangat dzolim jika para santri tidak bisa meluangkan waktunya untuk menjaga kebersihan makam gurunya.
Keempat, Semua Santri Berox salah, karena mereka tidak sadar diri bahwa kemampuan yang mereka dapatkan, kenangan yang mereka bangun, pengalaman yang mereka susun, dan serta pengetahuan yang mengantarkan dirinya menggapai impiannya adalah terbentuk dan dibentuk di Legundi dengan sifat ke-berox-an-nya. Tentunya semuanya itu tidak lain dan tidak bukan adalah peran dan kerja keras dari abah Bihin.
Kelima, terakhir, Semua Santri Berox salah, karena tidak menyadari bahwa santrinya Legundinya abah Bihin adalah sekaligus anak-anak al-Qur’an abah Bihin secara pengetahuan. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah diberi warisan terbaik yang layak untuk diteruskan oleh anak-anaknya, tradisi nDeres dan Sinau (pengetahuan sesuai dengan bidangnya).
Ketahuilah, warisan terbaik orang tua adalah karya dan pekerjaan yang belum terselesaikan, karena orang tua terbatasi usianya untuk menyelesaikannya dan giliran anak-anaknya yang meneruskannya—menyelesaikan atau meneruskan. Salah satu metode meneruskan warisan dan menyelesaikan karya orang tua adalah dengan membangun tradisi intelektual santri sambil menghidupkan makam sebagai bagian penting dari aktivitas.
Maka di malam itu, saya pun sadar bahwa saya dan teman-teman Berox Legundi saya-lah yang salah, tidak bisa menyadari warisannya guru ngajinya, tidak bisa memahami apa yang telah diberikan (ilmu) guru ngajinya, dan tidak bisa mengelolah kesempatan baik serta moment terbaik (kondisi sehat dan akal sehat) untuk menjaga eksistensi perjuangan guru ngajinya.
Yang paling nyata, warisan abah Bihin adalah makamnya abah Bihin. Para santri Berox harus merawatnya, menjaga kebersihannya, dan menjadikannya layak untuk didatangi oleh siapa saja, agar yang telah ada dimakam merasa bahagia dan bangga dengan kerja keras dan upaya para santrinya.Wallahu’alam bishowaf.