Bunga Berdarah; Kisah Sebuah Kejutan

Bunga Berdarah; Kisah Sebuah Kejutan
Di seberang sana terlihat lingkungan positif dan hidup sehat akal, dengan diriku yang hidup di lingkungan penuh toxic, paradoks membeludak seakan hendak mencekik leherku. Tuhan, memangnya aku diciptakan memang hanya benar-benar untuk bisa berserah diri pada-Mu?!

jagatkitasama.com – Aku benci pada diriku sendiri, mengapa harus aku yang merasakannya seorang diri. Tidak ada tempat di mana aku bercerita, tidak ada ruang bagiku untuk berserah diri selain kepada Yang Maha Kuasa. Seakan di saat seperti inilah aku diminta-Nya berserah pada-Nya.

Aku ingin menangis, namun yang menyembur hanyalah tanah, air mataku kering kerontang seperti manusia tanpa daging dan darah. Rasanya aku sendirian, padahal ada banyak orang di sekitarku. Aku tidak merasa termarjinalkan, Mas Yani. Aku hanya ingin sendiri. Bagaimanapun aku memuntahkan semua keluh kesahku mereka hanyalah menjadi tempat bercerita setelah itu sudah.

Bacaan Lainnya

“Tapi setidaknya ada yang mendengarkan suaramu. Dan dirimu menjadi agak tenang setelahnya.”

Tidak ada tempat lain untuk bercerita kecuali kepada Tuhan.

Tuhan yang maha …

Tuhan yang maha tidak adil.

Aku seperti manusia yang lebih hina di dunia ini. Merasa paling tersakiti, padahal ingin dikasihi.

Aku ingin menangis, namun air mataku hanya tanah.

Bahkan ketika Yang Pertama berbicara padaku pun, nada bicaranya masih seperti orang lain.

Orang yang menjadi sedarah denganku dan menjadi kakakku untuk selama akhir hayatnya.

Mengapa aku tidak menikah dengan kakakku saja jika perlakuan dia seperti bukan saudaraku. Harusnya Engkau mengizinkan aku inses, biarkan aku menikah dengan kakak pertamaku jika memang aku dianggapnya seperti anak pungut yang hanya diberi materi.

Jika memang dia mencintaiku, tidak…dia hanya mengasihani kekasih pertamanya.

Aku selalu merasa kurang kasih sayang.

Apapun aku lakukan demi bisa terlihat seperti orang yang paling bahagia, orang yang bisa memiliki kebahagiaan yang tidak seperti orang-orang pada umumnya.

Aku sebenarnya lelah.

Bukan lelah fisik yang kumaksudkan setiap kali aku mengatakan demikian. Bukan lelah tubuhku yang harus mondar-mandir kesana-kemari karena urusan bangku kuliah.

Aku lelah pura-pura.

Aku lelah pura-pura bahagia di depan setiap orang yang palsu.

Aku hanya ingin diakui.

Aku ingin memiliki keluarga yang benar-benar keluarga yang kuharapkan.

Keluarga pohon natal.

Bisakah aku benar-benar bahagia?!

Haruskah aku bahagia di tempat yang seharusnya? Neraka?

Sejak kecil aku berharap bisa mati muda

Tapi hidupku membuang-buang waktu.

Kenapa Tuhan menciptakan aku?!

Seharusnya Bapak menyesal saat itu. Menyesal karena telah keenam kalinya menanamkan benih pada rahim ibuku.

Buat apa aku hidup di dunia?!!

Kata Kakak Pertama dunia ini tidak akan kenapa-napa bila aku akhirnya mati.

Berarti kan, lebih baik aku mati?!

Dunia tidak akan hancur seperti apa yang aku harapkan.

Harapanku yang ingin seluruh dunia berduka cita atas meninggalnya diriku.

Tuhan aku hambaMu yang lemah!

Mengapa Engkau biarkan aku hidup‼

Memangnya aku akan berkontribusi apa‼

Memangnya aku akan menaklukkan dunia?!!

Memangnya aku akan menjadi orang kaya kedua setelah Bill Gates?!

Memangnya aku akan menjadi orang yang sepintar Einstein?!

Kenapa aku hidup?!

Aku ingin bunuh diri tapi aku akan menjadi manusia yang tak jauh berbeda dengan anak muda Korea yang sedang depresi.

Aku terlalu lawak untuk hidup bersama keluarga yang toxic.

Sampai kapanpun aku tidak akan memaafkan bapakku kecuali ia berkata menyesal telah menghadirkan diriku ke dunia.

Aku merasa sakit hati.

Menyesal telah hidup di dunia yang penuh dengan perbedaan yang dibanding-bandingkan ini.

Di seberang sana terlihat lingkungan positif dan hidup sehat akal, dengan diriku yang hidup di lingkungan penuh toxic, paradoks membeludak seakan hendak mencekik leherku.

Tuhan, memangnya aku diciptakan memang hanya benar-benar untuk bisa berserah diri pada-Mu?!

Diriku Kau ciptakan menjadi umat Nabi Adam agar aku bisa terus memujaMu.

Tuhan terobsesi ketuhanan-Nya?!

Jika kau tak mau diriku penuh kebencian, setidaknya perlakukan diriku dengan penuh kasih sayang.

Biarkan aku menikmati rasa kekeluargaan yang tak pernah aku miliki.

Iya, aku hanya sebatas adik, uang jajan, uang kuliah, semua kau tanggung tapi sebenarnya kau lemah dalam satu hal.

“Maafkan aku, ya, Dik. Aku tidak bisa memenuhi kebutuhan kasih sayang padamu. Aku hanyq bisa membiayaimu. Aku tak mampu membahagiakanmu.”

Hanya itu yang kuharapkan keluar dari mulutmu. APA SUSAHNYA‼

Jika aku tidak ditakdirkan untuk sembuh, ya udah‼! Tidak usah berlagak‼!

“Ayo berobat!”

“Tapi aku tidak membawa identitasku?! Harus ya, memakai KTP?!

Semuanya dipersulit seakan memang belum waktunya.

Terkadang aku ingin bisa sembuh.

Aku ingin hidup seperti orang disekelilingku.

Memangnya apa hikmahnya sih aku diberikan tangan kanan yang tak berbuat apa-apa di muka bumi ini?! Ha?!

Mengapa Tuhan tidak menjawabnya?! Apa Dia akan membiarkanku malu sendiri di kemudian hari?!

Begitu?!

Lama aku terdiam di sini sembari mengajukan jari, aku memang kau belikan HP, kau biayai kuliahku, pesangonku, semuanya…

Tapi kau tak mampu menciptakan kekeluargaan yang kuharapkan.

Ya Tuhan aku sudah memiliki tangan kanan yang tak pernah berdosa, haruskah kau tak memberikanku keluarga pohon natal?!

Begitu hangat di dalam rumah keluarga saat di luar sedang turun salju.

Aku tidak ingin menangis agar dipandang rapuh didepan orang lain.

“Kenapa kamu nggak bilang?!”

Karena aku adalah tipe orang yang jarang mengungkapkan.

Kau tak pernah mengerti keseharianku.

Aku dianggap tak ada selama sisa hidupku sebagai remaja

Kecuali guru yang sedang absensi menyebutkan nama.

Kau memang membutuhkan seorang partner, mas. Tapi aku tidak butuh, aku hanya ingin ada seseorang yang mencintaiku. Setidaknya ada satu yang mengakui diriku di dunia ini.

Yang pasti bukan bagian dari keluargaku.

Sebenarnya hal itu berarti kebenaran.

Keluarga terkadang bukan menjadi tempat pulang bagi orang-orang aneh.

Sepertiku. (Maulida Sufi Hindun)

Pos terkait