Dinamika Perdebatan “Ahli Waris Sah” yang Melahirkan Perang Verbal Kang Muhib dan Mas Ngaji

Dinamika Perdebatan "Ahli Waris Sah" yang Melahirkan Perang Verbal Kang Muhib dan Mas Ngaji
kemalasan mayoritas muslim Indonesia belajar Islam secara utuh, dengan mengkaji kitab atau membaca teks-teks pengetahuan yang lain—malas membaca buku-buku. Maunya mereka mendengar ceramah dan menonton youtube—tanpa ada penggalian keilmuan secara mendalam. Akibatnya mereka mudah sekali digoyang dengan isu-isu hasil editing tehnologi.

jagatkitasama.com – Pada posisi itulah pro-kontra diantara dua barisan orang muncul, antara yang tetap bersikukuh memegang gagasan awal sang ahli waris sebagai “ahli waris asli” dengan yang meragukan dan bahkan mulai menolaknya—bahwa sesungguhnya “ahli waris asli” ternyata bukan ahli waris.

Bagi yang kontra, menggoyang posisi sang ahli waris tentu tidak berpengaruh apa-apa bagi dirinya. Namun bagi yang pro tentu saja akan mengubah posisinya dan kedudukannya yang mulai dipertanyakan dan meragukan banyak kalangan.  

Bacaan Lainnya

Yang sangat dirugikan dengan adanya dinamika terkait garis kewarisan ini tentu saja adalah orang-orang yang dari awal sudah mengatakan dan menyakini para “ahli waris” sebagai benar-benar ahli waris. Anggaplah kelompok yang pro terhadap sang “ahli waris” ini sebagai Kang Muhib.

Kang Muhib merasa dirugikan karena sudah terlanjur dekat dengan kalangan sang “ahli waris”, diuntungkan dengan menjadi jaringan “ahli waris”, mengadakan kegiatan-kegiatan keislaman dengan sang “ahli waris” dan bahkan sudah mengkampanyekan posisi “ahli waris” sebagai sumber keberkahan-kemaslahatan-keijabahan doa.

Secara matian-matian, Kang Muhib akan membela sang ahli waris untuk dikembalikan kedudukkannya sebagai “ahli waris asli” tanpa diganggu gugat, tanpa ada pertanyaan, dan tanpa ada kritik apapun. Melalui komentar di media virtual seperti facebook, tiktok atau rekaman-rekaman video youtube, kang Muhib akan berjuang menyampaikan gagasan pembelaannya tersebut secara radikal maupun secara moderat.

Bagi Kang Muhib yang menyampaikan gagasannya secara radikal pasti akan semakin ditertawakan oleh kelompok yang kontra, sebut saja mereka sebagai Mas Ngaji. Dan bagi Kang Muhib yang menyampaikan gagasannya secara moderat tetap saja membuat suasana gaduh dan terkesan mencar-cari alasan rasional untuk “mengamankan posisi”-nya yang nyaman dengan sang ahli waris.

Perang Verbal Muhib vis a vis Ngaji

Sejak tulisan ini dibuat, perang verbal selalu dilakukan oleh Kang Muhib dan Mas Ngaji. Kang Muhib terus menerus menghasut dan menghina para kawanan mas Ngaji, dan sebaliknya mas Ngaji juga tidak mau kalah untuk memberikan bantahan-bantahan yang semakin menusuk dan menjatuhkan.

Kondisi tersebut terjadi pada sahabat saya di santri berox yang termasuk golongan Mas Muhib, yang membuat status di facebook dengan argument yang mengarah pada mendukung posisi sang “ahli waris”. Dia berharap bahwa dengan membuat status tersebut kondisi kegaduan akibat pro-kontra ahli waris bisa meredah. Ahli-ahli meredah, statusnya di facebook semakin mengarah pada perang verbal yang semakin mengerihkan.

Seorang kiai kampung yang sudah mempunyai banyak lembaga Pendidikan PAUD s/d SMK di kampungnya beradu argument secara memalukan—layaknya anak kecil—dengan seorang mantan ketua organisasi pergerakan di kampus (teman dari menantu sang kiai kampung sendiri).

Saling menghina, saling menjatuhkan, dan saling meremehkan kemampuan dan keahlian masing-masing menjadi bahan perdebatan keduanya di laman komentar status facebook sahabat santri berox saya itu. Perdebatan menciptakan komentar-komentar yang panjang, menjadikan “sebuah status” berubah menjadi wilayah perang yang memalukan bagi seorang yang berilmu.

Sebagai seorang yang sudah banyak membaca koran kompas dan majalah tempo, jujur saya malu membaca perdebatan kiai kampung tersebut vis a vis mantan ketua organisasi mahasiswa itu, karena tidak selayaknya perdebatan itu dilakukan hanya gara-gara saling kekeh memperjuangkan posisinya sebagai kang Muhib atau mas Ngaji.

Santri “Anwar” yang Tidak Sama

 Dinamika polemik ahli waris ini juga menyasar kalangan alumni santri pesantren Anwar Sarang, atau santrinya mbah kiai Maemoen Zubair—yang saat ini menjadi bagian dari pengembangan wawasan saya. Satu sebagai mas Muhib berkedudukan di Paciran (kajian fiqih), dan satunya lagi sebagai mas Ngaji berkedudukan di Jenu (kajian sejarah).

Di group watshapp “Anwar-Jenu” yang dimunculkan pasti argument-argument yang membatalkan kedudukan sang “ahli waris” sebagai sosok palsu dan bukan ahli waris.

Sebaliknya di group watshapp “Anwar-Paciran” justru memperjuangkan dengan keras bahwa sang “ahli waris” adalah ahli waris sesungguhnya dan mengatakan bahwa menkritik mereka adalah “haram”.

Pada akhirnya

Walaupun polemik ahli waris ini sudah semakin panas dan semakin mengusik ketenangan masyarakat pecinta “sholawatan” hal ini yang pasti hanya sebatas dinamika yang normal—yang bisa terjadi di kalangan komunitas apa saja.

Bagi kalangan kang Muhib pasti akan tetap “merasa dirugikan” dengan kondisi saat ini, karena “sholawatan semakin tidak dibutuhkan lagi dalam acara-acara hajatan masyarakat”, kata sahabat saya yang kang Muhib.

Sedangkan bagi kalangan mas Ngaji kondisi ini biasa-biasa saja, tidak berpengaruh dengan adanya dinamika nasab ini, karena “tanpa ahli waris sang nabi kami tetap mencintai nabi dan tetap suka membaca sholawatan.” Kata sahabat saya yang sejak dulu suka qasidahan An-Nabawiyah langitan.

Dan bagi saya sendiri, konflik ahli waris ini adalah dinamika yang pantas diterima oleh umat islam Indonesia dewasa ini karena tiga alasan yang perlu dikaji ulang dengan pikiran jernih—bersama-sama.

Pertama, kemalasan mayoritas muslim Indonesia belajar Islam secara utuh, dengan mengkaji kitab atau membaca teks-teks pengetahuan yang lain—malas membaca buku-buku.

Maunya mereka mendengar ceramah dan menonton youtube—tanpa ada penggalian keilmuan secara mendalam. Akibatnya mereka mudah sekali digoyang dengan isu-isu hasil editing tehnologi.

Kedua, ketidaksiapan muslim Indonesia terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya, seringkali mereka shock culture atau nerveous menghadapi setiap hal-hal baru dalam kondisi zaman yang berubah.

Misalnya, mereka cenderung fiqih-sentris kala melihat realita, tanpa mempertimbangkan filosofi atau sufistik dalam berfikirnya.

Ketiga, terlalu nyaman dengan euphoria pesta pora berbasis islam, yang melibatkan sosok-sosok “ahli waris” dan keramaian yang dihadiri oleh banyak orang.

Muslim Indonesia cenderung menggemari pengajian-sholawatan dengan keramaian dibandingkan dengan sholawatan yang mengandung renungan dan ketenangan.

Akibatnya, mereka akan mudah dibelokkan pemahamannya dengan isu-isu yang tidak nampak, seperti barokah sang “ahli waris” dan mungkin ijazah-ijazah dari kiai-kiai tertentu yang gemar memberikan ijazah kepada jamaahnya saat pengajian.       

Dan karena ketiga hal inilah muslim Indonesia gagap dan gempar ketika ada hasil riset ilmiah berbasis data yang menggoyang posisi kesah-an seorang ahli waris yang sudah kadung digemarinya. Wallahu’alam bishowaf. (Moh. Syihabuddin)

Pos terkait