Dua Kiai Di Arofah; Satu Berhasil Melaksanakan Wukuf, Sedangkan yang lainnya Kesulitan

Dua Kiai Di Arofah; Satu Berhasil Melaksanakan Wukuf, Sedangkan yang lainnya Kesulitan
“Kang, asal kamu tahu ya, puncak haji itu wukuf. Jika wukufnya batal dan gagal maka tidak ada artinya haji yang dijalaninya. Wukuf itu penyatuan diri dengan Allah, menyatukan ruh kita dengan dzat-Nya Allah, dan mengkondisikan tubuh kita tidak terasa berada di alam manusia, tapi sedang berada di dimensi ketuhanan.”

tuban.jagatkitasama.com – Tiada kehidupan yang indah yang bisa dinikmati dan dirasakan kenikmatannya kecuali orang-orang yang berdzikir dan selalu mengingat Allah dimana saja. Allah hanya bisa diingat melalui perantara seorang mursyid, yang menjadi penerus dari kerasulannya para rasulullah sebelumnya.

Di zaman orde baru, ketika peserta pemilihan umum masih ada tiga, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Palang ada dua kiai yang berbeda haluan politik dan pengamalan ilmunya, tapi mereka berteman akrab dan sangat dekat. Konon katanya juga masih keluarga.  

Bacaan Lainnya

Kiai yang tekun di bidang fiqih-syariat mempunyai pondok pesantren, mendirikan madrasah dari ibtidaiyah hingga tsanawiyah, dan menjadi tokoh dari PPP di kabupaten.

Sedangkan kiai fiqih-tasawuf seorang pegawai negeri, pengelola Yayasan makam wali di Tuban dan sekaligus anggota Golkar.

Pada suatu kesempatan, kala keduanya sukses menjadi seorang legislatif di kabupaten Bumi Wali keduanya berangkat ke tanah suci untuk melangsungkan ibadah haji. Mereka berada dalam satu rombongan yang sama, sehingga kegiatan satu sama yang lainnya saling tahu dan mengetahui.

Selama menjalankan ibadah haji keduanya saling berdekatan, mulai dari melakukan ihram di miqot, wukuf di padang arofah, melontar jumroh, melakukan sa’i di bukit shofa dan marwah, melakukan thawaf mengelilingi ka’bah, hingga membayar dam dan melakukan tahalul.

Mereka adalah sahabat yang sangat dekat dan akrab, kendati dibedakan dan dipisahkan oleh afiliasi partai.

Tapi dalam perjalanan pulang, setelah selesai berziarah ke roudloh di Madinah, kiai fiqih-syariat secara tiba-tiba bertanya kepada sahabatnya yang fiqih-tasawuf itu. Sebuah pertanyaan yang sangat asing dipertanyakan oleh banyak orang yang pergi berhaji.

“Kang, aku boleh bertanya?” katanya.

“Boleh. Kamu mau bertanya apa?”

“Aku menemukan sesuatu yang aneh saat kita wuquf di arofah. Aku melihat semua orang di arofah pada waktu itu melakukan banyak kegiatan, sholat sunnah, membaca qur’an, berdzikir membaca rathib al-hadad, dan melakukan ativitas lainnya. Pada intinya, semua jamaah melakukan ritual untuk mengisi kegiatan wukuf menjadi berguna, tidak cukup diam saja. Begitu.” Kata kiai syariat.

“Lalu yang aneh apa?” tanya kiai tasawuf. “Itu sudah benar itu.”

“Anehnya, semua orang yang ada di Arofah satupun tidak ada yang bisa wukuf.”

“Lalu..?” kiai tasawuf keheranan.

“Aku hanya melihat kamu yang bisa wukuf. Seluruh jamaah di arofah tidak ada yang bisa.” Tegas kiai syariat dengan nada tinggi. “bagaimana caranya kamu bisa wukuf. Tolong ceritakan padauk, kang.”

“Hey…kamu jangan ngawur ya, masak orang sebanyak itu tidak ada yang bisa wukuf. Kan cukup diam saja di arofah pada tanggal 10 dzulhijjah-kan sudah termasuk wukuf!” kiai tasawuf berusaha menutupi dan menyimpan rahasianya.

“Kang, asal kamu tahu ya, puncak haji itu wukuf. Jika wukufnya batal dan gagal maka tidak ada artinya haji yang dijalaninya. Wukuf itu penyatuan diri dengan Allah, menyatukan ruh kita dengan dzat-Nya Allah, dan mengkondisikan tubuh kita tidak terasa berada di alam manusia, tapi sedang berada di dimensi ketuhanan.”

“Dari mana kamu tahu informasi itu?” kiai tasawuf berupaya bodoh dihadapan temannya.

“Tentu saja dari kitab-kitab yang saya bacalah, mulai dari hikam, ihya’ulumuddin, riyadlul badi’ah, zaadul ma’ad dan sejenisnya, semuanya menerangkan demikian.”

Kedua sahabat itu saling pandang dan memberikan respon kerukunan yang tiada batas.

“Kamu harus menunjukkan aku, kenapa kamu bisa wukuf, sedangkan aku kok tidak bisa.”

“Apa yang kamu lihat padauk, selama kita berada di arofah?” kiai tasawuf menginginkan kejelasan dari yang dilihat oleh temannya.

“Sepanjang waktu aku melihat kamu itu bercahaya, kamu duduk bukan layaknya manusia, karena pancaran sinar yang ada dalam tubuhmu. Ada hal lain yang kulihat dalam dirimu selama kamu wukuf.” Jawab kiai syariat.

“Anehnya, sepanjang malam itu aku hanya melihat kamu diam, duduk, dan menarik tasbih, tapi ada udara sejuk yang ada di tenda kita, anginya tidak dingin dan juga tidak panas. Terasa ada hujan diluar, tapi yang jelas tidak hujan. Kondisi malam juga sunyi, seolah semua semua makhluk hidup telah berdiam diri. Lalu kondisi langit juga sangat cerah, mendungnya terang sekali, bintang-bintang terlihat indah dan bulan menampakkan sinarnya dengan rasa yang cukup hangat.” Tambah kiai syariat.

“Dan hebatnya, sepanjang malam itu hingga shubuh, aku melihat kamu kuat duduk sambil menarik tasbih, sama sekali tidak lelah dan tidak pula tidur. Di sekelilingmu aku sepertinya mendengar suara hentakan keras bacaan laa..ilaha…ilaAllah, berkali-kali hingga suaranya menggetarkan hatiku.”

Kiai tasawuf tersenyum, “wah..itu sih hanya perasaanmu saja, tidak nyata. Mungkin khayalanmu.” Dia berusaha menutupinya.

Tapi kiai syariat tidak menyerah, dia terus mendesak sahabatnya untuk menceritakan rahasia dirinya, menjadi satu-satunya orang yang bisa melakukan wukuf di arofah.

“Kang, ini terpaksa  kuceritakan, karena kamu terus mendesakku. Perbedaan antara aku dan kamu, juga dengan jamaah yang lainnya hanya pada Guru kita. Aku mempunyai seorang Guru Mursyid, Guru ruhani yang memberikan dzikir kepadaku, yang langsung bersambung ke Rasulullah. Tahlil yang kubaca adalah pemberian Guruku melalui proses khlawat yang panjang dan melelahkan.”

“Bacaanku dan bacaanmu sama, tahlil yang berbunyi Laa..Illaha..Illa…Allah, tapi energi dan potensi yang dikandungnya berbeda. Semua orang bisa membaca tahlil, tapi tidak semua orang bisa membacanya hingga mampu menembus ke singgasana Arsy-nya Allah. karena itu membutuhkan proses dan metode yang tersambung dari Rasulullah.”

“Kita sama-sama menyembah Allah, tapi Allah yang kamu hadirkan dengan Allah yang aku hadirkan tentu berbeda. Allah-ku jelas melalui perantara seorang Guru Mursyid-ku yang telah bersemayan di dalam qalbuku. Sedangkan allah-mu hanya sebatas angan-angan tidak jelas atau mungkin sebatas huruf arab bertuliskan allah-saja.”

Setelah berdiskusi cukup panjang dan mengupas rahasia wukuf semakin dalam, akhirnya kiai syariat menyadari kekurangannya dan mengetahui bahwa apa yang selama ini dilakukan belum bisa menyempurnakan jalan beragamanya.

Bertahun-tahun kemudian, setelah orde baru runtuh (1998), Golkar menjadi partai dan PKB dilahirkan kedua sahabat itu telah berpulang ke hadirat Allah. Kiai tasawuf wafat dalam kondisi wajahnya cerah seolah kembali muda, tubuhnya wangi dan tersenyum seperti ada yang menyambutnya untuk segera datang. Sebaliknya, kiai syariat wafat dalam kondisi pesing, bau, tidak terawat, dan wajahnya kusam seolah menghadapi ketakutan. (Moh. Syihabuddin)

Pos terkait