jagatkitasama.com – “Nandra!! Tutup bukumu!!” Suara lantang seorang kakak tertua menghentikan kedua mata Nandra yang sedang fokus pada satu baris pada paragraf dalam buku yang sedang ia baca. Lantas ia mengangkat wajahnya memandang Kakak Tertua tanpa ekspresi.
Lihatlah dia, ujar batin Nandra. Di depan keluarga besar dia akan melakukan apa yang akan membuat dirinya terlihat berwibawa sebagai seorang kakak tertua.
“Jangan baca buku di depan anggota keluarga! Kalau sedang kumpul gini kamu nggak boleh membaca buku!” Hardiknya pada Nandra. Tentu saja siapapun yang ada di ruang tamu itu akan memusatkan pandangan mereka ke arah Nandra. Sekali lagi bocah lelaki umur enam belas tahun itu tidak mengubah mimik wajahnya. Masih seperti tanpa ekspresi.
Selain keluarga dari pihak ibu, saudara-saudara Nandra juga berada di ruangan yang sama. Namun daripada itu, Nandra adalah satu-satunya anak yang tidak pernah ikut berbincang dengan keluarga besar.
Sekali dalam setahun pada hari raya Idhul Fitri keluarga besar akan memenuhi rumah Nandra, membicarakan apapun yang membuat telinganya seperti kemasukan cairan telinga.
Karena dia pikir tidak ada yang perlu ia lakukan saat berinteraksi dengan anggota keluarga besar, Nandra memutuskan untuk membuka lembaran bukunya.
Mengfokuskan pandangan pada paragraf demi paragraf dari buku yang ia baca, hal itu terus ia lakukan di tengah anggota keluarga besar yang terus menerus membicarakan apapun entah soal lulusan tahun berapa, kuliah di PTN mana, kalau tidak kuliah di universitas berkualitas nanti saat lulus sulit mendapatkan pekerjaan. Nandra sangat malas untuk menanggapinya.
Memangnya pemerintah mau kasih apa setelah diskusi bodoh itu membuang-buang waktu?!
Dan hal itu tidak menjadi sebuah masalah bagi anggota keluarga yang lain, mereka pikir, “oh, Nandra itu memang anaknya suka baca buku. Dulu waktu masih kelas dua SD dia udah habis baca buku setebal skripsi” dan mereka membiarkan Nandra tenggelam dalam dunianya. Akan tetapi entah mengapa tiba-tiba Kakak Tertua menyuruhnya untuk menutup buku. Hanya karena…
“Jika ada orang yang berbicara, jangan membaca buku! Lihat itu adikmu, dia menghargai orang yang berbicara, toh, dia juga mendapatkan buku dari hasil ia bertanya saat seminar.” Dalam bagian ini selalu berada di luar dugaan Nandra, dibanding-bandingkan dengan adiknya. Anak bapak yang paling terakhir. Anak koretan istilahnya.
Abimanyu sekejap menegakkan badan ketika ia mendengar Kakak Tertua menyebut, “lihatlah adikmu” saat menghardik kakaknya sendiri. Sempat Nandra melirik Abimanyu namun matanya langsung kembali menatap Kakak Tertua.
Bisa-bisanya seorang sulung membanding-bandingkan dirinya dengan si bungsu, dan bahkan itupun hal yang remeh. Memangnya sehebat apa Abimanyu sehingga Nandra harus beradu kekuatan dengannya?! Jika Nandra berani bertaruh, seluruh isi Kerajaan Buku milik Kakak Tertua akan diwariskan kepada dirinya.
Karena bila ia boleh menyombongkan diri, adik satu-satunya yang konsisten membaca buku adalah dirinya sendiri. Memahami pahitnya saat memiliki buku pertama kali saat susah. Toh, jika dibandingkan dengan Abimanyu, Nandra adalah adik satu-satunya yang tidak akan meninggalkan buku.
Masih ingat dirinya di tengah keraguan seorang bocah. Tiga tahun silam sebelum Abimanyu lahir, ia bertanya kepada Kakak Tertua.
“Mas, bagaimana jika buku digantikan oleh teknologi informasi seperti ponsel?”
“Heum?? Kamu pikir buku akan kalah dengan ponsel?? Tidak! Sampai kapanpun tidak akan ada yang bisa menggantikan buku!”
Dan ucapan itu tetap Nandra ingat walau Kakak Tertua mana mungkin mengingatnya dengan baik.
Saat masih TK Abimanyu selalu bermain bersamanya, namun entah mengapa saat ia beranjak SMP keangkuhan justru tumbuh dalam ulu hatinya. Memandang Nandra sebagai orang paling pecundang di antara saudara-saudaranya.
Di mana dirimu yang dulu, Dik, batinnya mengenang. Menyesal Nandra melihat Abimanyu tumbuh besar tapi tidak akan pernah mengenalinya lagi, di sisi lain ia bersyukur bisa menikmati dunianya tanpa perlu diperlihatkan oleh siapapun bahkan kepada Kakak Tertua.
Di saat Kakak Tertua menghardiknya, tidak ada satupun saudara-saudaranya menentang, mereka diam seperti mengheningkan cipta, termasuk Abimanyu yang menatapnya dengan pandangan seolah ingin menghancurkan Nandra di tempat.
Dan anggota keluarga besar lainnya hanya bisa menonton pertunjukkan itu. Benar-benar Kakak Tertua ingin mempermalukan dirinya. Tanpa sepatah kata dua kata Nandra mulai menutup bukunya dan meletakkannya pada kedua lengannya yang terlipat.
Hening. Suasana kembali kebentuk semula. Dari saudara-saudaranya hingga anggota keluarga dari pihak ibu melanjutkan diskusi bodoh mereka.
Tapi tidak dengan Nandra. Ya, ia harus mendengarkan mereka berbicara sementara tidak ada yang mengajaknya berinteraksi? Lalu buat apa ia mendengarkan seseorang yang bahkan tidak mengajaknya berbicara???
Memang dasarnya dia bodoh! Ujar Nandra dalam batin. Seluruh anggota keluarga yang ada di sana tidak jauh berbeda dengan perilakunya saat dirinya sedang membaca buku. Lalu? Apa yang harus ia lakukan untuk mengisi kejenuhan itu jika tidak dengan membaca buku?! Toh, orang-orang tidak akan peduli berapa banyak lembar buku yang ia habiskan selama mereka terus berbicara.
Dan momen dengan keluarga besar akhirnya usai ketika dunia menenggelamkan diri pada waktu siang. Nandra kembali ke kamarnya.
Lebaran yang penuh dosa!! Batinnya berteriak, yang awalnya ia ingin bermaaf-maafan dengan saudaranya kini harus kandas karena ulah Kakak Tertua. Berani-beraninya dia menggunakan dirinya untuk pijakan kaki di depan keluarga besar.
Udah paling muda, selalu salah, diinjak-injak pula!! Entah apa yang dikehendak oleh Tuhan sehingga lebaran tahun ini tidak lagi menjadi dambaan bagi Nandra.
Aku harap aku ingin memarahi bapak! Meski hal itu tidak mungkin terjadi, Nandra akan selalu disalahkan. Semua salah bapak karena Nandra sengaja dilahirkan.
Apakah aku dilahirkan untuk diinjak-injak?!! Pikiran Nandra terlalu jauh melangkah entah kemana sehingga ia bisa berpikir demikian. Merasa dilahirkan hanya untuk dipermalukan bahkan oleh keluarga sendiri. Aku harap keluarga ini hancur!
Selepas dhuhur, ketika Nandra memutuskan untuk tidur setelah meninggalkan ruang tamu, ia pun kembali keluar dari kamarnya. Melihat sekitar apakah suasana tadi pagi masih sama dengan siang ini.
Ketika kakak ipar dari kakak keempat melewati lorong yang dekat dengan kamarnya, wanita itu justru tidak mengalihkan pandangan.
Tunggu! Apa dia sebegitunya denganku?! Silent treatment?? Nandra tak peduli, dia sudah terbiasa dengan adegan silent treatment yang hendak memojokkannya dengan dalih bahwa ia harus merasa bersalah mengapa dirinya mendapatkan perlakuan yang tak biasa.
Nandra dari kecil selalu sendiri, dia sering bermain dengan teman sekelas namun tidak jika sudah berada di rumah. Saat Abimanyu beranjak SD, anak bungsu itu sudah bermain dengan teman-teman seumurannya. Sementara Nandra lebih memilih di rumah sepanjang hari sambil membaca buku.
Alih-alih perasaan orang lain, adakah yang akan mengakui keberadaannya? Seperti yang sekarang sedang terjadi. Kakak ipar dengan badan tambunnya itu melewati lorong tanpa berkata-kata, apakah dia tidak tahu keberadaan Nandra? Buta kah?
Nandra tak sambil pusing. Ia pun melanjutkan langkahnya kembali menuju ruang tamu. Sepi, hanya ada beberapa saudaranya yang sedang main HP di atas sofa. Suasana jam siang yang tenang. Cocok untuk membaca komik Naruto, batinnya. Entah karena ingin basa-basi atau apa, Nandra pun menghampiri saudaranya.
“Mas!…” belum selesai Nandra memanggil tiba-tiba saudaranya itu terbakar, ada api yang nuncul dan menjulang di atas tubuhnya.
Namun tubuh itu seperti telah merespon keadaan, ia tidak hanya diam namun lemas. HP yang semula dipegangnya lantas terlepas dan jatuh ke bawah tapi tidak membawa api untuk ikut menghanguskan karpet di bawah sofa.
Nandra mundur sedikit, ia sontak memanggil Kakak Tertua dengan suara lantang untuk meminta bantuan.
Meski radi pagi ia sempat dipermalukan olehnya, namun kali ini situasinya berbeda. Tidak cukup sampai disitu, Nandra pun meninggalkan ruang tamu, membiarkan api membakar saudaranya.
Nandra melihat Kakak Tertua sedang berada di dapur, dan tentu saja berseru kepadanya atas apa yang sedang terjadi.
“Mas!! Mas Yudhi sama Mas Sadewa terbakar!!!” dan Nandra pikir suaranya mampu didengar olehnya, ternyata salah. Lelaki berumur tiga puluh sembilan tahun itu tetap sibuk menuangkan satu sendok kopi ke dalam gelas, Nandra pun menghampirinya, menepuk pundaknya dan api pun muncul dari sekujur tubuhnya. Membakar Kakak Tertua dalam sekejap. Untuk kali ini, Nandra benar-benar tidak bisa santai dengan buku-bukunya, kedua matanya dibuat terbelalak oleh kejadian tak terduga di siang bolong.
Dan apakah hanya ada dia di rumah besar ini?!!
“Siapapun tolong selamatkan saudaraku!!!!” serunya. Walau tidak ada kemungkinan orang-orang dari luar akan mendengarkannya.
Tiba-tiba suara tawa terdengar, muncul entah darimana, memenuhi ruangan yang ada, Nandra menolehkan kepalanya ke penjuru arah, suara itu belum berhenti dari tawanya yang sarat penuh kemenangan. Kemenangan apa?!
“Dengarlah, Nandra!!!”
“Siapa kau!!? Tunjukkan dirimu?!!”
“Hahahaha, aku sudah berada di rumah ini sejak lama tapi kau masih belum menyadarinya?!”
“Selamatkan saudaraku!! Mereka terbakar!!!”
“Tidak ada yang bisa kau lakukan di sini, Nandra!!”
Wajah Nandra masih memandang ke arah mana pun untuk mencari keberadaan suara misterius itu. Sampai pada akhirnya ia temukan sosok wajah dengan senyum lebar dan penampilan yang aneh. Ada buku terbuka yang menutupi kepalanya, sehingga bentuknya seperti setengah segitiga tepat berada di atas kepalanya. Meski ia tahu di atas sana hanyalah buku yang menutupi kepala.
Nandra membuat badannya mundur, menggunakan kedua telapak tangannya dengan menyeretkan pinggul, sembari masih tetap beradu mata dengan sosok aneh yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
“S…siapa kau!!” serunya, “mau apa kau ada di sini??!”
“Hahahaha!!! Acting yang bagus, anak muda!! Kau pikir sedang ada di mana? Ini duniamu!! Dunia Nandra!”
Dunia Nandra?? Nandra semakin tidak mengerti. Apa yang dimaksud oleh makhluk itu pada dirinya. Namun hanya satu yang seharusnya ia pikirkan, saudara-saudaranya terbakar.
“Tolong, saudaraku terbakar!! Kenapa saudaraku bisa terbakar?!” Hampir ada nada tangis di balik perkataannya. “Aku harap mereka baik-baik saja! Bagaimana caranya aku bisa menyelamatkan mereka?!”
“Nak, Dunia Nandra tidak semudah yang kau pikirkan!”
“…”
“Lihatlah baik-baik. Saudaramu adalah parasit yang mencoba mengganggu hidupmu. Mereka terbakar selayaknya buku yang selalu engkau sentuh. Lihatlah sendiri!”
Nandra diam. Mencoba kembali merangkai apa yang baru saja mengusik pandangannya. Ketika ia hendak menyentuh saudaranya, suara daun kering yang terbakar perlahan terdengar. Seluruh ruangan di dalam rumah itu penuh dengan lahapan api, tanpa ada yang membakar dirinya. Begitu juga dengan buku-buku itu. (Maulida Sufi Hindun)