Jagatkitasama.com – Guru adalah kunci keberhasilan seorang santri dan yang bisa menentukan masa depan positif bagi para santrinya. Guru adalah kunci sebuah pintu masa depan yang sangat asing, tidak dikenal, penuh kejutan, dan banyak halangan yang menghadang suatu kesuksesan bagi seorang santri. Maka mulia-kan-lah guru kita dan keluarganya, niscaya akan berbuah baik bagi masa depan kita dan mendorong kemajuan peradaban manusia.
Ada sebuah kisah yang cukup terkenal tentang kiai di “negeri dua gunung” yang dulunya adalah santri yang gemar mengisikan jeding (kolam mandi) kiainya. Namanya Abdurrahman Syamsuri.
Durrohman mondok di sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal, mempunyai banyak santri, dan memiliki kualitas pengajian yang cukup beragam dan berkualitas. Banyak santri berdatangan ke tempatnya mondok untuk mendapatkan ilmu yang banyak dan berkah lalu dibawa pulang dan disebarkan ke masyarakatnya.
Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain Abdurrahman harus melewati masa-masa menjadi santri yang harus berani tirakat, menahan diri dari kenikmatan-kenikmatan jasadi dan juga meningkatkan pengabdiannya pada kiainya.
Selama menjadi santri di pondok Abdurrahman mempunyai kebiasaan yang unik, yang tidak dilakukan oleh teman-teman sesama santrinya. Tiap tengah malam—kira-kira pukul 01.30-an Abdurrahman bangun tidur dan melakukan sebuah kebiasaan yang sangat biasa, namun berdampak terhadap kemudahan kiainya menjalani ibadah dan aktivitas sehari-harinya. Dia menarik timbak dari sumur, lalu mengisikan kolam mandi kiainya.
Tidak heran jika tiap menjelang shubuh, saat sang kiai mau mengerjakan qiyamul lail dan menyambut shubuh air di kamar mandinya sudah penuh dengan air. Awalnya kiainya mengira yang mengisikan adalah putranya atau istrinya.
“Bu’, jenengan ngisi air jeding jam berapa?” tanya kiainya.
“Lho, maksud Abah gimana? Saya tidak pernah mengisi air jading kok, malah saya kira yang mengisi abah.” Jawab istrinya.
“Lalu siapa kira-kira yang mengisi air di jading kita ya bu’?” tanya kiainya pada istrinya.
“Walah, tidak tahu abah. Mungkin para santri.” Jawab istrinya.
Di malam hari yang lain, saat kiainya sudah bangun dari tidurnya, tiba-tiba melihat air di jedingnya sudah penuh dengan air, sehingga tinggal menggunakannya untuk mandi dan wudlu. Siapa yang mengisinya ini ya. Gumam sang kiai.
Akhirnya, setelah satu bulan kiainya penasaran, siapa gerangan yang mengisikan air jedingnya sehingga tiap pagi tidak perlu bersusah payah untuk menarik timbah dari sumurnya.
Maka pada suatu malam, kiainya mencoba tidak tidur, menjaga rumahnya dengan berpura-pura tidur, untuk melihat gerakan yang muncul di sumur di belakang rumahnya.
Dan benar saja, tepat pada pukul 01.30 ada sebuah gerakan yang tedengar di telinga kiainya. Gerakan itu ada di kawasan belakang rumah, tepatnya di sumur. Taklama kemudian ada suara yang menarik katrol di sumurnya, sebuah penanda adanya orang yang akan mengambil air.
Air pun terdengar bergemerincing memasuki sebuah wadah yang mengarah ke kolam jedingnya. Dan di jedingnya terdengar pula air yang masuk, sehingga sedikit memberikan gambaran suara yang cukup enak di dengar.
Sang kiai merasa tentram mendengarnya dan merasakan gemerincing suara air yang masuk ke dalam jedingnya. Untuk sementara sang kiai hanya diam, menunggu sampai proses pengisian air berhenti.
Kurang lebih satu jam kemudian, tarikan tampar katrol berhenti, air jading sudah penuh dan sang kiai keluar untuk melihat sosok yang telah menyibukkan dirinya mengisi air jedingnya.
Sang kiai menuju ke belakang rumah, melangkahkan kakinya menuju ke sumur yang menjadi sumber air bagi rumahnya—untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Dan sejurus kemudian, tepat di depannya, seorang pemuda kecil yang bajunya basah kuyup dengan sarung tetap menempel di tubuhnya, disertai kopyah hitam menghiasi kepalanya.
“Walah….kamu toh, Durrohman. Ternyata kamu yang selama ini mengisikan air di kolam jedingku sampai melober-lober.” Kata kiainya, sambil terheran-heran. “Tak piker santri-santri yang besar, kok malah kamu.”
“Geh kiai, ngapunten, niku kuloh yang mengisikan.” Jawab Abdurrahman malu-malu. “Ngapunten, radi lancang, mboten izin.”
“Sungguh tinggi nikmat Allah dan sungguh beruntung orang yang ditakdirkan menjadi baik dihadapan-Nya. Terima kasih nak, kamu sudah memudahkan aku untuk mandi, berwudlu dan memakai air sesukaku. Semoga kelak di masa depan kamu akan menjadi prang yang digemari oleh banyak orang dan mempunyai murid yang berlebih-lebih sampai lober, persis seperti air yang kamu isikan di kolam jedingku.” kata kiainya, sambil mendoakan Abdurrohman.
“Aminnn, pangestune kiai.” Jawab Abdurrohman.
“Dan semoga kamu kelak di masa depan dimudahkan oleh Allah dalam mencari rizki, membesarkan pondok, dan menjadikan sebuah desa yang sangat diberkahi oleh Allah.” lanjut kiainya.
Beberapa tahun kemudian, Abdurrahman pulang ke rumahnya, kembali ke masyarakat asalnya di “negeri dua gunung”.
Dan sungguh hidayah Allah telah berjalan dan takdir Allah telah menggerakkan suatu pusaran alam semesta. Abdurrahman menjadi seorang kiai, yang pelan-pelan bisa mengembangkan sebuah pesantren. Tak membutuhkan waktu lama pesantren itu terus berkembang dan menjadi sebuah pusat pembelajaran yang cukup ramai didatangi oleh banyak orang.
Pesantren itu semakin lama semakin berkembang, menjadi bagian penting dari peradaban Islam di negeri dua gunung. Pesantrennya tumbuh menjadi tempat yang nyaman bagi banyak orang untuk berjalannya dakwah agama, sekaligus mengembangkan nilai-nilai keislaman.
Hingga kini, sejak wafatnya kiai Abdurrahman pesantren yang dirintis oleh santri yang gemar mengisikan jeding kiainya itu tumbuh pesat menjadi kekuatan yang sangat besar bagi sebuah organisasi keagamaan di Indonesia—Muhammadiyah.
Berkat perjuangan Abdurrahman—disertai dengan saudara-saudaranya, kiai Husein Asyhuri, “negeri dua gunung” mempunyai masyarakat gemar sholat lima waktu, gemar mengaji dan belajar islam, serta mendukung seluruh aktivitas masjid dan pondok pesantren.
Sampai hari ini pun—mungkin tidak hanya peran Abdurrahman saja—“negeri dua gunung” menjadi salah satu wilayah yang makmur di Jawa Timur dan menghasilkan pemasukan besar bagi daerahnya. (Moh. Syihabuddin)