Gaya Politik yang Membunuh Demokrasi dan Mengajarkan “Kebencian” (Fatwa Mumazis 8)

Gaya Politik yang Membunuh Demokrasi dan Mengajarkan “Kebencian” (Fatwa Mumazis 8)
Selain terlihat jelas berambisi untuk tetap menjadi seorang raja di sebuah republik, Jokozi jelas-jelas ingin tetap mendapatkan kenyamanan dan enaknya menjadi seorang presiden—minimal jika sudah tidak menjabat bisa menjadi penasehat presiden atau apalah, yang penting masih menjabat.

jagatkitasama.com – Sukses mengelabuhi para pejabat MK untuk mengubah aturan usia presiden Indomerv, Jokozi pada akhirnya sukses “mengamankan dirinya” untuk tetap bisa mendapatkan uang negara dengan cara menetapkan putra pertamanya sebagai seorang wakil presiden, kelak fotonya akan dipampang di banyak tempat, di ruang-ruang istimewa dan di berbagai ruang belajar pelajar di seluruh Indomerv.

Selain terlihat jelas berambisi untuk tetap menjadi seorang raja di sebuah republik, Jokozi jelas-jelas ingin tetap mendapatkan kenyamanan dan enaknya menjadi seorang presiden—minimal jika sudah tidak menjabat bisa menjadi penasehat presiden atau apalah, yang penting masih menjabat.

Keberhasilan Jokozi menjadikan Jibran sebagai wakil presiden jelas membuat marah kaum intelektual, para guru besar yang berwawasan luas dan para eksekutif yang sudah berkerja keras untuk membangun negara ini. Mereka tentu saja tidak sudih negaranya dipimpin oleh seorang anak kecil yang sama sekali tidak berprestasi dan tidak mempunyai keahlian yang spesifik di dalam pembangunan negara.

Dibandingkan dengan deretan wakil presiden sebelumnya tentu saja kemampuan dan pengalaman Jibran tidak ada bandingnya apa-apa. Jibran berada jauh dibawah level seorang Kiai Santri Pesantren, seorang Prof. Ekonomi Neo-Liberal, atau Pengusaha Tambang Kalimantan yang sudah terlihat kemampuan dan pengalamannya dalam mengelola negara dan melakukan banyak hal yang bermanfaat untuk negeri ini.

Selama menjabat sebagai wali kota Solo pun Gibran cenderung mengandalkan bantuan hibah dari bapaknya dengan anggaran APBN untuk menunjukkan prestasinya sebagai seorang kepala daerah yang dipaksa canggih dan mampu—padahal sebenarnya hanya hiasan belakan dan akal-akalan saja untuk memaksakan putranya mampu membangun Solo.

Apa yang dilakukan oleh Jokozi jelas-jelas merusak demokrasi di republik ini dan tidak patut untuk diberikan jabatan lagi sebagai “presiden yang berprestasi.” Jokozi layak dihentikan dan tidak patut dijadikan sebagai teladan dalam membangun negeri ini, karena hutang menumpuk, Papua membara, nilai tukar rupiah jatuh bebas, investor banyak yang lari, PHK besar-besaran dan angka kemiskinan semakin tinggi di kalangan generasi muda Indomerv.

Dan karena kekurang-mampuan putranya, sekaligus sepak terjang yang memalukan Jokowi untuk mengebiri kemampuan Mahkamah Agung maka setiap warga negara yang berakal sehat dan waras akan jijik dan malu untuk menempelkan foto wakil presiden di ruang kantornya atau di ruang rapat. Foto wakil presiden itu akan melambangkan sebuah kerakusan kekuasaan dan kelucuan seorang bocah yang sama sekali belum memliki kemampuan untuk memimpin negara.

Maka sangat beruntung sekali pada bulan kemarin (Agustus) terjadi demonstrasi besar-besaran di setiap kota untuk melawan akal-akalan Jokozi lagi yang menginginkan putra keduanya menjadi kepala daerah atau gubernur.

Fakta ini jelas memperlihatkan jika Jokozi sudah tidak lagi disukai oleh rakyatnya dan cenderung menciptakan kebencian di tengah-tengah kehidupan bangsa Indomerv. (Moh. Syihabuddin)

Pos terkait