Setiap awal di bulan Januari saya pasti marah dan dongkol pada suami saya. Kemarahan itu hanya sekedar rasa kecewa dan perasaan yang tidak nyaman sebagai istri yang tidak mendapatkan apa yang diharapkannya—dari suaminya.
Bagaimana tidak, setiap hari ulang tahun saya dia lupa mengucapkan kata-kata yang indah untuk saya dan tidak memberikan ucapan yang pantas sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Dia baru mengucapkan setelah saya menyampaikannya dan itu sudah berselang satu hari. Dan saya tidak suka dengan hal itu, tapi suami saya diam saja dan malah menunjukkan kesabarannya.
Setelah saya renungkan, dan kedongkolan itu menjadi intropeksi saya akhirnya saya sadar bahwa yang dilakukan oleh suami saya jauh lebih besar dan lebih baik dari harapan saya.
Kepadanya, setiap hari ulang tahun saya, saya berharap suami saya mengirimkan kata-kata indah dan manis, sanjungan yang membuat hati saya bergetar, dan doa-doa yang membuat segalanya menjadi lebih baik. Dan semua itu sudah dilakukan oleh suami saya setiap hari ulang tahun saya datang. saya menyadarinya sejak kelahiran anak saya yang kedua.
Setiap bulan Januari suami saya pergi ke Jakarta, memutus hubungannya dengan dunia luarnya, tidak bisa dihubungi melalui telpon, dan tidak bisa diberi kabar atau didatangi. Dia pergi ke suatu tempat, menyendiri bersama teman-temannya, mengkosongkan pikirannya dari kesibukan dunia, melepaskan hatinya dari jeratan-jeratan manis kekayaan, dan membersihkan segala auranya dari pengaruh-pengaruh negatif dari keadaan di sekelilingnya.
Saya tahu apa yang dilakukan oleh suami saya.
Suami saya hanya tidur, lalu duduk menenangkan diri, berdoa menghadap kepada Illahi rabbi, agar segalanya kembali diserahkan kepada yang mempunyai urusan. Suami saya ber’itikaf, menyendiri di dalam sebuah masjid, hanya mengingat dan menyebut nama-Nya Dia, Dzat Yang Maha Tinggi, Dzat Yang Segala kekuatan di Dunia dan Akhirat ada digenggamannya.
Dalam kondisi tersebut tentu saja dia berjuang, berusaha keras untuk melupakan saya, melupakan kondisi saya, menghilangkan perasaan rindu dan sayang pada anak-anaknya, sekaligus melupakan segala urusan yang membuatnya sibuk dan berputar-putra bagai kincir angin di tambak-tambak desa sebelah.
Setelah itu suami saya akan berziarah, mengunjungi Gurunya dan keluarga Gurunya. Menunduk meminta ampun atas kesalahan-kesalahan dirinya dihadapan Allah, memohon ampunan atas segala kekhilafan dan segala perasangka yang buruk terhadap Tuhan-nya. Suami saya benar-benar menghancurkan dirinya, meleburkan dirinya dalam lantunan kalimat tauhid, meremukkan tulang-tulangnya dengan ayat-ayat suci, serta menghapus dirinya untuk memunculkan kehadiran Allah dalam qalbunya.
Dan karena semua yang dilakukan oleh suami saya itulah, hadiah ulang tahun terindah yang telah diberikan suami saya kepada saya. Kedongkolan dan kekesalan saya pun berubah wujud menjadi sayang dan cinta kepadanya.
Perjuangan i’tikaf suami saya adalah hadiah terindah untuk saya, hadiah yang telah menjadikan saya semakin sehat, semakin dilancarkan segala urusannya, semakin dipermudah segala kepentingan saya dan saya semakin mendapatkan ketentraman dalam menikmati kehidupan saya. Semua itu lebih indah dibandingkan jika saya hanya diberi kata-kata dan dibelikan sepasang cincin emas permata.
Memang suami saya tidak bersama saya, dia bahkan meninggalkan saya untuk beberapa saat guna melakukan sebuah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. hal itulah yang menyebabkan doanya telah merasuk kepada saya, menjadikan saya semakin kuat mendapatkan posisi yang saya impikan dan kondisi kehidupan yang saya harapkan.
Apa yang saya raih sejauh ini, mendapatkan kepercayaan untuk mengajar sebagai Guru di sekolah desa saya, membina anak-anak mengaji al-Qur’an, mendapatkan gaji yang layak untuk menjalani kehidupan, dan bisa berusaha keras melalui jenjang Pendidikan yang lebih baik tidak lain adalah kerja keras suami saya yang sering i’tikaf, sering berdoa untuk saya, sering menyebarkan aura-aura dzikirnya kepada saya, dan selalu mencintai saya dengan kesabaran dan kelembutan.
Saya menyakini dan saya juga merasakan dampaknya, setiap suami saya datang dari i’tikaf, lalu mendekati saya, membangun cintanya kepada saya, memberikan kasih sayangnya kepada saya, ada banyak hal yang saya peroleh dan bermanfaat bagi saya. Dampaknya secara langsung saya rasakan dan bisa saya nikmati. Terutama dampak kebahagian, kesehatan dan ketentraman batin saya, sehingga saya bisa lancar mengerjakan pekerjaan saya dan menyelesaikan apa yang menjadi tugas saya di sekolah.
Mempunyai suami yang ahli i’tikaf dan mendoakan istrinya yang sibuk mengajar di sekolah adalah sebuah keberuntungan dan kenikmatan yang sangat besar. Dengan kata lain, saya yang fokus menjadi guru (profesi) dan mengabdi kepada Negara, sedangkan suami saya menguatkan saya dengan energi-energi ketuhanannya.
Saya yakin, konsep itulah yang paling ideal untuk membangun bangsa ini dari komponen bangsa yang paling mendasar, ikatan keluarga.
Kepada suami saya, selamat ber-i’tikaf dan terima kasih atas hadiah doanya.