Ikhtiar Ber-Guru dan ber-Tuhan di Masa Fitnah Perpecahan; Kembali Pada Pusatnya, Menuju Mata Air Peradaban

Ikhtiar Ber-Guru dan ber-Tuhan di Masa Fitnah Perpecahan; Kembali Pada Pusatnya, Menuju Mata Air Peradaban
Dalam setiap periode kepemimpinan islam akan datang suatu masa dimana kondisi umat akan mengalami kebimbangan dan kekacauan emosional yang diakibatkan meninggalnya sosok panutan penerus keilmuan Rasulullah. Hal itu sama halnya yang dialami oleh umat islam pasca wafatnya Rasulullah sendiri, yang mana semua penerusnya menempuh jalan berijtihad dengan menggunakan beragama dalil untuk berupaya mencari kebenaran.

jagatkitasama.com – Pasca berlindungnya Rasulullah Muhammad Shallauhu’alaihi wassalam banyak kalangan sahabat yang mengalami kebimbangan terkait dengan keberlanjutan kepemimpinan Islam, baik kepemimpinan dalam kenabian maupun kepemimpinan dalam tradisi Arab, atau kesukuan yang baru saja terbentuk dan menaklukkan seluruh jazirah Arabia dalam pengaruh dakwahnya—semua suku di jazirah Arab mengakui bahwa bahwa Rasulullah adalah seorang Rasul dan Nabi sekaligus penerus dan penyempurna nabi-nabi sebelumnya.

Kondisi tersebut dengan bijak dan sangat cerdas bisa diselesaikan oleh para sahabat yang pada gilirannya menjadikan masyarakat Arab-Islam dalam keutuhan kepemimpinan dan kekuatan baru dunia di zamannya. Uniknya, secara berurutan, tanpa ada rekomendasi dan penunjukkan atas penggantinya, semua orang penting dan orang dekat Rasulullah menjadi penerus kepemimpinan politik maupun kepemimpinan agama.

Bacaan Lainnya

Abu Bakar as-Shiddiq, mertua sekaligus teman dekat; Umar bin Khatthab, mertua; Utsman bin ‘Affan, menantu; Ali bin Abi Tholib, menantu sekaligus keponakan yang ikut sejak kecil; dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan, saudara ipar.

Dalam setiap periode kepemimpinan islam akan datang suatu masa dimana kondisi umat akan mengalami kebimbangan dan kekacauan emosional yang diakibatkan meninggalnya sosok panutan penerus keilmuan Rasulullah.

Hal itu sama halnya yang dialami oleh umat islam pasca wafatnya Rasulullah sendiri, yang mana semua penerusnya menempuh jalan berijtihad dengan menggunakan beragama dalil untuk berupaya mencari kebenaran.

Setiap ijtihad pasti akan menyandarkan pengalamannya pada kebiasaan dan wahyu Rasulullah.

Sebagaian kalangan menggunanakan al-Qur’an dan pengalaman Rasulullah (sunnah) sebagai dasar untuk berijtihad, sebagaian kalangan yang lain menggunakan al-Qur’an dan pengabdian ahlul bait, dan Sebagian kalangan lainnya ada yang menggunakan al-Qur’an dan kebiasaan masyarakat muslim Madinah.

Dari perbedaan-perbedaan perspektif dalam menggunakan dasar pengambilan pemikiran itulah muncul beragam perbedaan yang pada akhirnya melahirkan berbagai bentuk firqoh (kelompok) dalam kebudayaan islam.

Dari sekian firqoh yang berkembang dalam islam, yang menjadikan mereka semuanya satu adalah sandarannya (dasar hukum pertamanya) yang tetap menggunakan teks al-Qur’an dan apa yang berhubungan dengan Rasulullah, baik sunnah maupun ahlul bait.

Khusus pada penggunaan dasar yang kedua, bagi yang menggunakan sunnah pada gilirannya terkenal dengan sebutan ahlussunnah dan yang menggunakan ahlul bait pada gilirannya menjadi syi’ah.

Sedangkan untuk golongan yang menciptakan gagasan baru yang sama sekali tidak ada di dalam al-Qur’an, Sunnah atau tradisi ahlul bait maka mereka dikenal dengan sebuta ahlul bid’ah. Biasanya ahlul bait ini menyandarkan islam dengan gagasan-gagasan filsafat, sains, dan agama lama sebelum islam sambil mengabaikan dasar-dasar keimanan di dalam al-Qur’an.       

Dari konteks sejarah kebudayaan islam tersebut maka adanya banyak firqoh dalam islam dan masyarakat muslim pada dasarnya merupakan perihal yang wajar dan harus disikapi dengan cara yang pernah dilakukan oleh para sahabat di zaman Rasulullah.

Cara terbaik adalah mengembalikan kepada sumbernya sebagai sumber mata air ilmu pengetahuan guna membangun peradaban manusia.

Menyikapi Perbedaan

Perbedaan dalam tradisi ahli sufi pun demikian, sudah menjadi hal yang wajar dan lumrah terjadi pada setiap zaman dari pergantian peradaban, sebagaimana hal itu terjadi pula di zaman sekarang di dalam masyarakat sufi di Jawa, antara sufi di Sidayu dan sufi di Tuban—yang bertepatan pada perubahan zaman akibat kemunculan covid-19.

Menyikapi perbedaan yang terjadi antara pemikiran orang Sidayu dan orang Tuban maka ada dua cara yang bsia ditempuh.

Pertama, jika kita menengok pada tradisi sunni atau ahlussunnah maka dasar pengambilan keputusan ada pada kalam-kalam, pendapat-pendapat atau pengalaman para anak-murid terdekat (jamaah senior) dari Ayahanda-Guru Mursyid.

Kedua, jika kita menengok pada tradisi syi’ah maka dasar pengambilan keputusan ada pada kalam-kalam, pendapat-pendapat atau pengalaman para ahlul bait anak darah-jasad yang dilahirkan oleh Ayahanda-Guru Mursyid.

Uniknya, tradisi syi’ah yang dipengaruhi oleh peradaban Persia sering kali mengklaim bahwa pengajaran sufi dibentuk dan diamalkan oleh para pengikut syi’ah. Padahal hal itu tidak sepenuhnya benar, karena para sufi sendiri ternyata lebih banyak didominasi oleh orang-orang sunni dari pada orang syi’ah.

Sehingga langkah terbaik dalam menyikapi adanya perbedaan yang terjadi di kalangan kita antara pemikiran orang Sidayu dan orang Tuban bisa ditempuh dengan menggabungkan dua cara diatas, yakni mengembalikan semua hak pengelolaan jamiyah atau kepengurusan persauadaraan sufi kepada ahlul bait, sekaligus tetap berpegang teguh pada pemikiran dan pendapat-pendapat atau pengalaman para anak-murid terdekat dan senior dari Ayahanda-Guru Mursyid.

Langkah tersebut merupakan langkah paling aman dalam menjaga adanya sebuah perbedaan dan mencegah adanya perpecahan diantara para saudara sesama jamaah yang memiliki satu Guru yang sama dan amalan keilmuan yang sama, dari pada harus memilih salah satunya.

Karena adanya kekosongan dalam kepemimpinan atau kepengurusan maka bentuk kepengurusan itu bisa dikembalikan kepada ahlul bait—untuk sementara waktu, dan sekaligus membuka ruang seluas-luasnya bagi para murid senior Ayahanda-Guru Mursyid untuk melakukan ijtihad, pembinaan amaliyah, pengawasan ubudiyah dan pengembangan ribat-surau sebagai tempat untuk melakukan pembinaan dan pembelajaran tasawuf.     

Kembali kepada ahlul bait berarti kembali kepada sumbernya, yakni sumber terdekat dalam melakukan hubungan emosional, sekaligus tetap menjaga ikatan silaturahim-pengetahuan-pengalaman berguru dengan para murid senior atau para khalifah yang dekat dengan Guru.

Modal inilah yang bisa dimanfaatkan oleh para murid-murid junior, atau para petugas pemula yang ingin menjaga “pembelajaran dan keilmuannya” tasawuf agar tetap bisa menyambung kepada Guru yang secara jasmani sudah berlindung. Karena dengan cara itulah kita bisa berupaya maksimal dan mengurangi kesalahan yang besar dalam ber-Guru secara ruhani dan berupaya meraih rahmat secara totalitas.

Ketika kondisi zaman berubah, jamaah mengalami frakmentasi dan pemikiran berbeda-beda dan muncul upaya-upaya yang tidak ditemukan titik persamaannya maka mengembalikan kepada sumbernya ahlul bait dan sekaligus mengandalkan ijtihad para murid senior (khalifah utama) adalah cara terbaik yang harus dilakukan.

Secara syariah saja, kepada anak darah dari guru ngaji kita, ngaji fiqih, ngaji al-Qur’an dan ngaji jasmani lainnya itu tetap ada perintah wajib untuk menghormati dan memuliakannya. Apalagi jika dengan anak jasmani dari Guru ruhani tentu saja tingkat kewajibannya lebih tinggi dan murid sang Guru mutlak dan wajib hukumnya untuk memuliakan mereka—dengan segala cara diukur dengan kemampuan dan keahlian kita.  

Langkah-langkah inilah yang kemudian menjadi ijtihad kita dalam membentuk Masyarakat Hasan Ma’shum Palang sebagai jalan ihtiyat (hati-hati) untuk tetap lurus dijalur ber-Guru, sekaligus menjadi ikhtiar nyata untuk menjaga adanya perbedaan dan tetap menjalin adanya keterikatan dengan para khalifah sepuh dengan ahlul bait. (Moh. Syihabuddin)

Pos terkait