jagatkitasama.com – Ada dua pekerjaan yang paling mulia di dunia ini, yang pertama adalah guru yang bertugas mengobati kebodohan atau penyakit ruhani manusia dan dokter (tabib) yang mengobati penyakit jasmani atau kesakitan tubuh manusia. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh syekih az-Zarnuji dalam kitab ta’lim muta’alim yang populer di dunia pesantren di Indonesia.
Hingga sekarang argument tersebut menjadi doktrin bagi santri pesantren di Indonesia, khususnya di kalangan kaum santri-tradisionalis-sarungan yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk mengajar dan menjadi sosok kiai, atau sunan.
Hal itu benar, karena dengan banyaknya santri yang suka rela mengajar maka banyak anak-anak masyarakat Indonesia yang mulai mengenal peradaban Islam dan bisa menjalani etika hidup dengan lebih baik menurut standart yang diajarkan oleh qur’an.
Akan tetapi menjadi tidak baik jika semua santri alumni pesantren memeras potensinya, bergerak secara serentak di desa-desa, dan membangun peradaban islam dengan menjadi guru saja, yang pasti akan berdampak pada ketidak-terisinya peluang-peluang lain yang masih terbuka.
Menjadi guru itu baik, menjadi kiai itu keren, dan menjadi ustadz itu pasti “berkah” dan berpahala besar—kelak setelah wafat nanti. Namun terlalu banyak kiai, terlalu banyak ustadz, dan terlalu banyak guru akan menjadi tidak baik di masyarakat, karena akan melahirkan banyak benturan antar santri dan kepentingannya yang sama.
Artinya, menjadi profesi guru-kiai-ustadz bukanlah satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh para santri pesantren. Masih banyak jalan lain yang harus diciptakan, ditempuh sebagai jalan alternatif lain yang bisa membuka kran peradaban penyebaran potensi dan kecerdasan para santri.
Kebanyakan (over potensi sumber daya manusia yang sama) tentu akan menghasilkan benturan-benturan yang tidak sehat—dan itu sudah banyak terjadi di masyarakat di Jawa (terutama). Satu kiai pemangku pesantren akan bersaing dengan kiai lainnya yang berada dalam satu desa. Seorang ustadz yang berpengaruh di suatu masjid akan merasa tersaingi oleh ustadz baru yang hadir sebagai pendatang baru.
Kiai pesantren di desa yang tidak cocok dengan kawannya, kiai lain satu desa yang mengelola suatu madrasah pasti akan mencegah santrinya untuk sekolah di madrasah milik saingannya itu dan lebih memilih merekomendasi santri pondoknya untuk sekolah di SDN saja. Beberapa dalil yang rasional pun pasti akan dikeluarkan untuk membenarkan argumentasinya. Sebagaimana yang terjadi di suatu desa di kecamatan Palang.
Seorang kiai, yang sudah merasa lebih kuat dan lebih mampu dengan sumberdaya yang dimilikinya dibandingkan dengan kiai yang lebih lama hadir di daerahnya, pasti akan mendirikan lembaga Pendidikan formal setingkat MTs/SMA dan MA/SMA—yang sama. Karena hanya dengan mendirikan suatu Lembaga Pendidikan formal inilah seorang kiai bisa membangun citranya lebih cepat dan lebih besar peluangnya untuk menjolok dana hibah dari negara. Sebagaimana kasus yang terjadi di kecamatan Paciran.
Seandainya para santri yang sudah menjadi kiai ini bisa legowo dan bisa saling mensuport untuk berkerja sama dalam memposisikan perannya di masyarakat maka akan menjadi baik dan bisa membesarkan perjalanan sejarah peradaban islam di tempat tersebut.
Akan tetapi, dikarenakan keterbatasan “kesadaran” dan kekurangan “wawasan dari luar”—ngopinya kurang jauh—maka yang terjadi kemudian adalah memperbesar konflik dan saling memperkuat citranya masing-masing dihadapan masyarakatnya. Rebutan pengaruh pun tak terelakkan lagi dan bisa-bisa berujung pada pilihan politik yang berbeda—yang pastinya membelah eksistensi masyarakat setempat.
Adanya benturan antar kiai-santri di perdesaan tidak lain dan tidak bukan lagi disebabkan oleh peran yang dijalankan oleh santri tersebut itu sama, objeknya sama—mencari murid untuk sekolah atau pondoknya yang mengajarkan materi yang sama (qur’an, nahwu, shorof, fiqh, hadits). Pelajaran yang diajarkan di pesantren tersebut sama, tidak memiliki keunikan yang saling melengkapi dan bisa dinikmati oleh semua masyarakat.
Berangkat dari kondisi itulah maka kitasama hadir sebagai salah satu “jalan lain, jalan alternatif” yang dipilih oleh kalangan santri pesantren untuk membuka lebih lebar potensi-potensi yang dimiliki oleh santri agar tidak seluruhnya bergerak menjadi guru madrasah atau guru sekolah.
Komunitas Kitasama hadir sebagai (1) guru masyarakat yang akan mengajar masyarakat melalui tulisan-tulisan, (2) memberikan informasi yang membangun mental masyarakat agar memiliki kesadaran bernegara dan beragama, serta (3) membimbing masyarakat untuk berfikir rasional (masuk akal) dalam setiap tindakannya agar terbebas dari jurang penipuan dan kebodohan zaman.
Kitasama hadir sebagai jalan lain untuk “menjadi guru” agar ilmunya tetap bisa diajarkan kepada masyarakat dan dinikmati oleh masyarakat, yang tidak ditempuh melalui ruang kelas atau kampus. Kitasama memilih Pendidikan dengan cara memberikan pencerahaman melalui bacaan, tulisan yang mendidik, dan wawasan yang dibangun dari rangkaian aksara-aksara yang berlaku di negara kita.
Kitasama tetap mendirikan pesantren, sebagai basis awal pengembangan keilmuan islam dan keilmuan dasar yang mendasari kitasama. Akan tetapi kitasama akan mengembangkan pesantren tersebut dengan cara yang berbeda yang tidak sempat digarap oleh pesantren yang lain di wilayah desa tersebut—khususnya Palang dan Tuban.
Melalui pesantren itulah komunitas Kitasama akan membangun kemampuan santri dengan skill-skill menulis cerpen, menulis esai, menulis makalah, menulis novel, membuat kaligrafi kontemporer, dan menulis sejarah lokal serta tokoh lokal. Tulisan-tulisan tersebut akan dipublikasikan dalam dua bentuk, yakni bentuk buku dan konten di www.jagatkitasama.com
Bentuk buku akan menjadi produk unggulan yang bisa dijadikan souvenir dan koleksi perpustakaan pesantren, hadiah oleh-oleh para wisatawan yang berkunjung di desa, dan pastinya bentuk nyata dari kerja keras santri. Sedangkan konten web akan difungsikan sebagai “kecepatan informasi” dan kemudahannya untuk dinikmati khalayaknya umum—seluruh dunia yang membutuhkannya.
Tentu saja pesantren yang dijadikan basis pengembangan komunitas kitasama tidak meninggalkan pengajaran-pengajaran dasar kepada para santri, seperti membaca dan menghafal qur’an, mengkaji hadits, menelaah kitab salaf dan pastinya belajar khat Arab. Akhlak tetap menjadi pedoman yang ditekankan sebagai pendidikan perilaku yang bisa mengembangkan mental santri menjadi generasi bangsa yang kuat dan kokoh menghadapi setiap tantangannya.
Dengan demikian, kehadiran komunitas kitasama bersama dengan jagatkitasama.com tidak lain merupakan langkah strategis untuk memainkan peran sebagai guru masyarakat dan guru peradaban bangsa melalui penyebaran semangat literasi dan penulisan naskah. Adapun pesantren yang dikembangkannya tidak lain merupakan pijakan peradaban yang dijadikan basis keberlanjutan dan markas peningkatan skill literasi. Selamat datang di “Jalan Literasi Kitasama”. (Moh. Syihabuddin)