Jagatkitasama.com – Secerdas dan sehebat apapun seseorang jika dia berada di tempat yang salah dan tidak mendukung kehebatannya maka dia akan menjadi orang yang gagal dan tidak bisa mengembangkan kecerdasannya. Setiap ornag membutuhkan tempat, waktu dan momentum yang tepat agar bisa menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat, disertai dengan karya-karya yang bermanfaat bagi banyak orang.
Seorang ilmuwan bisa jadi gagal menjadi ilmuwan jika dia hidup di suatu daerah yang tidak menunjang cara belajarnya dan kegiatan ilmiahnya.
Seorang ulama bisa jadi gagal menjadi ulama jika dia hidup di sebuah lingkungan buruk yang menuntutnya untuk berkerja kasar dan tidak memberinya kesempatan untuk belajar menelaah kitab-kitab.
Dan seorang kreator bisa jadi gagal menemukan penemuan hebat-nya jika tidak berada di tempat yang saling menunjang untuk mendukung kehebatannya.
Sungguh beruntung Imam Syafi’i, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, al-Ghazali, Issac Newton, Albert Einstein, Mark Zurkenberg, Jeff Bezos, dan Bill Gates yang hidup di sebuah lingkungan yang baik untuk mengembangkan bakat-bakatnya.
Ada cerita yang menarik terkait dengan kegagalan anak yang cerdas dan hebat bakatnya, hanya gara-gara dia berada di tempat yang salah dan tidak mendapatkan kesempatan yang tepat untuk mengembangkan bakatnya itu.
Di salah satu desa di Falanjistan, tempat saya mengembangkan pesantren berbasis seni dan literasi ada seorang gadis yang sangat cerdas, rajin belajar, giat meningkatkan kemampuannya, dan tidak pernah lelah dengan perjuangannya. Dia adalah anak yang dilahirkan dari keluarga tanpa ayah dan tanpa ibu, hanya oleh saudaranya yang paling peduli dia dirawat dan diasuh menjadi “anaknya” sendiri.
Jika dilihat dari kelahirannya dia termasuk generasi milenial dan Z yang seharusnya mendapatkan kesempatan yang besar untuk mengembangkan dirinya dan menemukan tempat yang sesuai guna meningkatkan kecerdasannya.
Enam tahun sekolah di Sekolah Dasar Desanya dia menjadi gadis yang paling digemari oleh teman-temannya, digadang-gadang untuk dijadikan sebagai pasangan imajinatif di masa depan, karena kecerdasannya dan ketekunannya dalam belajar. Dia selalu menduduki peringkat satu sepanjang sejarah hidupnya di sekolah dasar dari kelas satu hingga kelas enam akhir.
Dalam bidang berhitung dan logika matematika dia sangat menguasai dan bisa menyelesaikan soal-soal yang paling rumit. Dalam bidang sains dia mampu menghafal berbagai jenis unsur yang berpengaruh di alam semesta dan yang sedang ada di sekitarnya. Dalam bidang bahasa dia sangat leluasa menguasai aneka jenis sastra lama dan sastra baru. Dan dalam ilmu keislaman dia tidak kalah menguasainya, walau tidak sepenuhnya menguasai secara penuh.
Temannya yang satu peringkat dibawahnya adalah seorang anak yang terlahir dari keluarga kaya, dijamin oleh segala fasilitas yang melimpah. Anak itu berusaha menarik hatinya dan mengirim beberapa surat cinta yang cukup banyak untuk diberikan kepadanya.
Namun tanggapan gadis itu tidaklah “membaca surat-surat itu,” malah memberikannya kepada teman-temannya untuk dibaca bersama-sama dan juga dipersilahkan untuk membalasnya. Dia sendiri takut dengan hal-hal yang tidak berguna itu dan cenderung menjaga dirinya agar tetap fokus belajar meningkatkan dirinya.
Selepas lulus dari SDN di desanya dia terbentur oleh kondisi keterbatasan dan penghasilan keluarganya yang rendah. Dia tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih baik dan lebih menjamin keberhasilannya belajar.
Impiannya adalah bisa sekolah dengan kualitas yang lebih baik dan pelajaran yang bisa menjamin keberadaannya menghadapi masa depan. Tapi impiannya itu tidak pernah terwujud, karena dia dihadang oleh kondisi keterbatasan uang keluarganya dan dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya yang tidak memahami tujuan sekolah yang sebenarnya—mencetak manusia yang berkualitas dengan penguasaan bidang sains-islam.
Dengan sangat terpaksa dia “terjerumus” ke dalam pendidikan yang pas-pasan dan tidak pernah ditunjang oleh pengajaran yang baik. Dia pun masuk di sebuah sekolah yang dipengaruhi oleh mitos-mitos yang kurang membangun, mengandalkan gagasan “ilmu manfaat” yang tidak ditunjang dengan rajin belajar (anjuran membaca buku tidak ada), dan yang pasti gurunya selalu terlambat mengajar—dengan mata pelajaran yang tidak pernah dihabiskan selama satu tahun ajaran.
Memang dia tetap menduduki rangking pertama di kelasnya dan bisa mendapatkan pujian dari prestasinya, akan tetapi semua itu tidak ada artinya apa-apa jika dibandingkan dengan materi pelajaran yang diperolehnya selama belajar di SD-nya dulu.
Tiga tahun belajar di sekolah “yang bobrok” itu dia hanya merasakan siksaan batin dan seolah tidak pernah mendapatkan ilmu yang bisa dipelajarinya. Materi yang diajarkan cenderung tidak menantang, tidak bisa diandalkan sebagai modal kehidupan, dan kurang menunjang peningkatan IQ-nya.
Dia selalu menempati rangking pertama di kelasnya bukan berarti dia saking pandainya dalam pelajaran, tapi lebih pada pelajaran di MTs-nya yang tidak jauh beda dengan apa yang dipelajarinya di SD-nya dulu—bahkan anak-anak sekelasnya terkesan kurang menguasai ilmu yang diajarkan di kelas, sehingga pantas dia menjadi selalu yang terdepan dalam semua pelajaran dibandingkan teman-temannya.
Kejenuhan dan kebosanannya belajar pun berlanjut kala dia dibujuk oleh guru-gurunya—yang terkesan spiritualis, mistis dan keramat—untuk masuk di jenjang Madrasah Aliyah yang sama. Sebagai anak yang patuh, taat dan segan serta berusaha memuliakan gurunya maka dia pun menurut saja. Lagian keluarganya juga tidak mampu untuk membiayai dan men-sekolah-kan ke jenjang pendidikan yang lebih berkualitas tinggi di kota atau di pondok pesantren di luar Falanjistan. bersambung (Moh. Syihabuddin)