Jagatkitasama.com – Maka tiga tahun “pembodohan” pun dijalaninya di sekolah yang sama-sama mengalami ketertinggalan itu—di sebuah sekolah menengah atas yang kurang menunjang kecerdasan. Gurunya jarang sekali mengajar, pelajarannya tidak sepenuhnya diajarkan sampai tuntas, dan kegiatannya cenderung menguras tenaga tanpa memberikan dampak yang signifikan terhadap kecerdasannya.
Konon sekolah menengah atas-nya itu adalah sekolah yang berbasis keilmuan pesantren, alih-alih dia diajarkan cara membaca kitab kuning (nahwu-shorof) dan menguasai beberapa kitab dasar di pesantren kebanyakan di Jawa Timur, dia sama sekali tidak pernah mendapatkan manfaat dari belajar kitab—karena pengajarannya yang seenaknya sendiri dan tidak pernah khatam.
Tiga tahun belajar di sekolah atas-nya itu semakin membuat dia menderita kala kebanyakan gurunya kurang memberikan apresiasi padanya, karena dia “anak desa” yang dipandang sebagai ras rendah oleh orang di kawasan pesisir. Guru-gurunya lebih menganak-emaskan anak-anak dari pesisir dan cenderung mengurangi nilai-nilainya anak-anak dari “nDeso”.
Selama enam tahun belajar di sekolah menengah di institusi yang sama dia jelas mengalami kondisi yang menyedihkan. Ilmunya dan kemampuannya yang dirawat dan diruwat selama enam tahun di SD telah rusak dan tidak berguna. Kecerdasannya dan bakatnya sama sekali tidak berkembang, alih-alih dirinya mengalami penurunan dan terjerumus dalam ketertinggalan.
Dia pun segera tertinggal dengan teman-temannya yang satu desa yang kebetulan berada di sekolah yang lebih baik. Dia merasa kalah dalam banyak bidang dengan teman-temannya, kala sharing dan membanding-bandingkan kajian yang kebetulan sama. Diibaratkan berlari untuk menuju ke Jakarta dari Tuban, dirinya baru sampai di Sarang-Rembang dan teman-temannya sudah berada di Cirebon-Jawa Barat.
Lulus dari Madrasah Aliyah dia kembali menghadapi masa-masa berat dan kelamnya, yang tidak pernah dipikirkannya. Atas bujukan dari gurunya yang tidak memahami dunia kampus dan lebih didorong oleh maksud untuk mendapatkan “ceperan” merekrut calon mahasiswa gadis desa-itu “terpaksa” masuk kuliah D2 di sebuah kampus di Malang yang membuka cabang di Tuban.
Dia menempuh kuliah dengan kemampuan yang terbatas (uang) dan kerja keras yang cukup berat. Dia harus banyak-banyak menyisihkan uang jajannya, menyimpan uang hasil mengajarnya dan sekaligus menjaga dirinya untuk tidak terlalu sering makan-makan di luar.
Tanpa ada yang membimbing, tanpa ada yang mengarahkan, dan tanpa ada memberikan instruksi dalam dunia kampus dan perkuliahan, dia terasa masuk ke dalam hutan yang lebat, seram dan rimbun. Tidak tahu harus melakukan apa yang bisa dilakukan dan tidak tahu bagaimana menjalan dirinya sebagai seorang mahasiswa.
Maklum saja dia kesulitan menghadapi dunia kampus, karena sejak belajar di SMA-nya dia sama sekali tidak pernah mendapatkan arahan dari guru-gurunya untuk kuliah di kampus tertentu, tidak ada pembinaan untuk masuk jalur beasiswa ke kampus favorit, dan yang jelas tidak ada arahan untuk menentukan masa depan yang sesuai bakatnya—karir. Dia menjadi mahasiswa benar-benar dengan bekal yang sangat kosong dan tidak ada persiapan sama sekali.
Guru-gurunya di SMA-nya benar-benar buta tentang “memberikan arahan kuliah”, karena tidak ada tradisi membina anak-anak didiknya untuk kuliah, atau memberikan pembinaan untuk menghadapi ujian masuk kampus dengan jalur beasiswa. Guru-gurunya benar-benar orang tidak berpengalaman dalam dunia kampus. Alih-alih membina kuliah, di SMA-nya sama sekali tidak ada tradisi kuliah, karena pasca lulus Aliyah Sebagian besar alumninya langsung menikah dan atau mungkin langsung kerja serabutan.
Hal itu sungguh berbeda jika saja dia berada di sebuah tempat yang cocok untuk mengembangkan ilmunya, sekolah di sebuah SMA yang fokus mengkuliahkan siswa-siswanya atau sekolah yang mempunyai budaya belajar yang sangat tinggi. Dia tentu akan menjadi anak yang berkesempatana untuk mengembangkan keilmuannya dan bakatnya.
Dia adalah contoh sebuah korban dari kegagalan yang tidak wajar, karena adanya unsur paksaan untuk berada di sebuah tempat yang tidak nyaman bagi dirinya untuk belajar. Dia akan menjadi anak yang hebat jika saja dia berada di sebuah lingkungan yang bertumbuh dan bisa mengembangkan segala bidang yang ditekuninya—matematika, sains dan keislaman.
Walaupun kuliah dan sekolah Aliyah di sebuah institusi yang tidak menunjang perkembangan keilmuannya dia masih diuntungkan dengan keaktifannya di IPPNU, yang sedikit memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengembangkan pengalaman dan ilmunya. Sehingga pada saat dia tidak menemukan kenikmatan belajar di kampus dia sudah merasa cukup dengan wawasan kaderisasi yang diperolehnya di IPPNU.
Beberapa tahun kemudian dia menikah dan mendapatkan tekanan untuk kuliah lagi diluar jalur yang ditekuninya. Dia dipaksa untuk kuliah di jurusan yang linier dengan pekerjaannya—karena ijazah S1-nya tidak linier dengan pekerjaan yang ditekuninya di tempat kerjanya.
Dia bimbang, bingung, dan bahkan menangisi suaminya untuk minta “dikuliahkan” lagi. Beruntung segala sesuatunya itu dipikirkan dengan matang dan didiskusikan dengan akal jernih dan hati yang tenang sehingga bisa menghasilkan keputusan yang cukup baik bagi kelangsungan keilmuannya.
Banyak pihak yang mendorong dirinya untuk kuliah di IAINU Tuban mengambil empat tahun jurusan PAI, alih-alih suaminya menyarankannya untuk kuliah magister PAI di UNISDA. Daripada kembali kuliah empat tahun S1 lebih baik kuliah S2 tiga tahun dengan jenjang dan pengalaman yang lebih baik. Dan alhamdulillah dia setuju untuk belajar di jenjang yang lebih tinggi lagi.
Setelah lulus dari magister PAI di UNISDA, takdir Allah telah memberikan penerangan pada jalan hidupnya dan memberikan dorongan yang baik bagi kelangsungan perjalanan karirnya. Dia masuk dalam kategori guru-guru “nDeso” yang tergolong ASN di kotanya, sehingga sangat membuka dirinya untuk semakin menekuni profesinya sebagai guru dan pengajar di desanya.
Syukur atas capaiannya, dan jalan beratnya karena salah dalam melakukan pertumbuhan di lingkungan yang tidak memiliki tradisi belajar yang tinggi akhirnya dia mengabdikan dirinya untuk mendidik sepenuh hatinya di sebuah institusi di desanya, berharap warga di desanya kelak bisa hidup di sebuah lingkungan yang lebih baik dan menunjang pertumbuhan keilmuannya. (Moh. Syihabuddin)