jagatkitasama.com – Bedak habis, minyak tinggal separuh botol, deodorant, sabun, shampo.. semua kompak habis ditanggal yang sama. Baiklah saatnya untuk belanja semua keperluan pribadiku.
Terlintas dalam pikiranku kemana harus belanja semua itu dengan harga murah, ya.. Bravo swalayan di sanalah Aku akan menemukan banyak pilihan dengan harga yang terjangkau di banding minimarket yang ada di sekitar sini.
Yang Aku tuju terlebih dahulu adalah sabun mandi, beragam merk dan varian warna terpajang di sana, Aku mulai memilih dan mencium satu persatu warna sabun meski akhirnya yang Aku pilih adalah yang paling murah harganya meski mereknya tak begitu terkenal, hitung hitung bisa hemat dikit.
Seorang laki laki mendekati ku, Ia menyapaku, tanya kabarku dengan siapa datang dan Aku bingung siapa laki laki ini? kenapa dia tahu namaku? Meski Aku tak begitu peduli namun Aku tetap menjawab pertanyaannya. Namun dengan menjawab semua pertanyaannya tak membuat dia lantas menghindar tapi justru mengikuti kemana Aku pergi, sampai sampai Aku urungkan niatku untuk membeli hal yang paling sensitif bagiku.
Karena merasa Aku tak begitu mempedulikannya, Dia pun mencoba mengingatkan Aku tentang dirinya. Lantas Aku pun memperhatikan wajah laki laki yang sedari tadi mengikutiku, dia mengatakan kalau kita pernah satu kelas waktu di SMP.
Ku tatapi laki laki berkacamata ini, dari suaranya jujur aja Aku tak begitu mengenalinya, ku coba mengingat ingat wajahnya tapi hasilnya tetap nihil. Waktu di SMP Aku tidak begitu mengenal teman teman cowok hanya beberapa saja toh sekarang mungkin wajahnya sudah berubah.
Hingga akhirnya Ia pun menyebutkan namanya, ya.. Allah… Namanya benar benar tidak asing lagi bagiku, sebuah nama yang hampir saja terlupa, sebuah nama yang dulu pernah… Ah sudahlah. Dari postur tubuhnya dia beda dengan yang dulu. Dulu dia begitu kurus tapi sekarang agak berisi, rambut yang acak acakan dan agak gondrong kini tertata rapi, dia benar benar sudah berubah.
Mengingat tentang dia yang dulu, dia sering menolongku saat Aku dalam kesusahan, meski anaknya agak reseh tapi enak di ajak berkawan, bahkan setelah lulus SMP kita pernah ketemu di jalan, saat itu dia sedang mengendarai motornya dan Aku mau menyebrang jalan, dia rela balik hanya untuk menyapa dan tanya kabar, hal itu terus terulang kalau kita ketemu.
Dia begitu baik sekali, Aku terlalu menaruh harap sama dia, namun seiring berlalunya waktu harapan itu pun pupus, kita tak pernah jumpa lagi untuk beberapa tahun, dan baru kali ini dipertemukan lagi.
Aku mencoba menebak pekerjaannya, dengan postur tubuh yang berisi, rambut yang rapi dan berkacamata, apa mungkin dia seorang dokter? Bukankah dulu Ia ingin sekali mengikuti jejak Ayahnya sebagai seorang polisi, ternyata tebakanku salah dia hanya seorang karyawan pabrik.
Seorang gadis kecil berumur sekitar empat sampai lima tahun menghampiri kita berdua, gadis kecil itu begitu dekat dengannya, di belakang seorang wanita cantik yang mendorong keranjang belanja ikut mendekat. Tak salah lagi mereka adalah keluarga kecilnya.
Harapan baru yang tadi sempat terlintas harus Aku kubur dalam dalam, dia sudah berkeluarga. Dia pun memperkenalkan kita, dia juga cerita tentang masa lalu ku pada istrinya yang membuat Aku sedikit malu.
Wanita itu menggendong anaknya dan menyuruh suaminya untuk menggantikan posisinya mendorong keranjang belanja. Saat istrinya telah berlalu dia mendekati ku dan membisikkan kata kata padaku. “Andai waktu itu Aku mampu menemukanmu, mungkin saat ini Kamu yang akan menggendong anakku bukan wanita itu.” (Arinal Haqiqoh)