Masa Depan Dai Dagelan, Akan Tetap Menjadi Pilihan “Pencerahan Masyarakat” Sampai Waktu yang Tidak Terbatas (Prediksi 2)

Masa Depan Dai Dagelan, Akan Tetap Menjadi Pilihan "Pencerahan Masyarakat" Sampai Waktu yang Tidak Terbatas (Prediksi 2)
Semakin lucu seorang penceramah dan semakin banyak memberikan guyonan yang sangat mengocok perut maka dia akan semakin diminati dan semakin laris—undangannya, karena masyarakat muslim Indonesia semakin mencintai “guyonan” ditengah beratnya hidup mereka karena menghadapi tekanan “kemiskinan”, ketertinggalan dan ketidakmampuan menghadapi arus kerasnya persaingan ekonomi dunia.

Jagatkitasama.com – Sudah menjadi hal yang lumarah, mafhum dan jamak di kalangan masyarakat awam muslim Indonesia kala mengadakan sebuah acara pengajian atau kegiatan keagamaan, mereka akan geremeng dan berkata dengan sesame (jamaah)-nya, “kiainya tidak enak, karena tidak lucu,” Jika memang benar kiainya tidak bisa menciptakan suasana gemuruh tertawa terbahak-bahak.

Semakin lucu seorang penceramah dan semakin banyak memberikan guyonan yang sangat mengocok perut maka dia akan semakin diminati dan semakin laris—undangannya, karena masyarakat muslim Indonesia semakin mencintai “guyonan” ditengah beratnya hidup mereka karena menghadapi tekanan “kemiskinan”, ketertinggalan dan ketidakmampuan menghadapi arus kerasnya persaingan ekonomi dunia.

Bacaan Lainnya

Menghadirkan penceramah yang lucu dan mampu membius masyarakat dengan beragam bentuk guyonan yang diluar nalar—tanpa sedikit pun mengandung pengetahuan dan keilmuan di sebuah acara pengajian akan semakin digemari dengan antusias oleh muslim Indonesia dan dengan kenyakinan palsu yang menyatakan bahwa “guyonan itulah yang benar.”

Orang-orang muslim di masa depan kelak akan tetap “mencintai” dan menggemari para dai-dai yang lucu, yang bisa memberikan kekuatan tertawa sekuat dagelan dan para comedian. Para dai jenis ini akan tetap laris manis di pasaran muslim awam Indonesia, karena dai model dagelan dianggap bisa menyenangkan masyarakat yang menyebabkan panitia pengajian akan memperoleh “pujian keren” dari jamaah.

Dai-dai yang bisa menghasilkan kelucuan dan guyonan di masa depan akan tetap menjadi orang yang “omongannya paling diikuti”. Ucapan mereka yang ringan, tanpa kekuatan pengetahuan dan tanpa mengandung makna bagi kemajuan bangsa akan selalu dijadikan rujukan untuk “pencerahan” bagi masyarakat muslim Indonesia.

Entah sampai kapan masyarakat muslim Indonesia menggemar para dai yang lucu dan bisa mengocok perut, yang jelas sepanjang hayat mereka akan tetap laku untuk menjadi narasumber dalam sebuah pengajian yang diadakan di kampung-kampung dan desa-desa yang Sebagian besar dihuni oleh muslim tradisionalis. Semakin lucu seorang dai maka semakin lama mereka akan menjadi idola masyarakat desa.

Dibandingkan menghadirkan seorang profesor atau peneliti dalam acara kajian atau pengajian—agar menyampaikan hasil temuannya yang bermanfaat bagi masyarakat dan temuannya yang bisa mendorong kesejahteraan ekonomi pada masyarakat awam—panitia pengajian lebih suka mendatangkan dai yang lucu seperti seorang comedian dan dagelan, karena apa yang disampaikan oleh penelitia atau professor dianggap “terlalu tinggi” dan tidak bisa “menyenangkan” hati masyarakat muslim awam.

Memang benar, para profesor dan peneliti telah belajar dengan tekun dan memperbanyak hari-harinya dengan membaca buku, meneliti jurnal yang sudah terbit, dan sangat sibuk dengan menulis beragam hasil penelitiannya—yang tentunya berguna bagi kehidupan masyarakat di suatu negeri, terlepas dari agamanya apa.

Para professor dan peneliti juga sudah berlama-lama di laboratoriumnya atau perpustakaan kampus/pribadi untuk membaca dan mencari sumber yang autentik dan terpercaya, mereka menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang berguna dan bisa memberikan dampak yang positif bagi kemanusiaan.

Tapi menurut sebagian besar muslim Indonesia, keberadaan seorang profesor tidak “mengandung barokah”, tidak memiliki “ijazah dan amal-amalan” sehingga kurang memiliki kemuliaan dan kehebatan yang bisa diserap oleh masyarakat.

Alhasil keberadaan para peneliti dan professor dianggap kurang “layak” menyampaikan ceramah di tengah-tengah masyarakat muslim awam. Lebih-lebih, hasil penelitian peneliti itu dianggap “biasa saja” oleh masyarakat muslim Indonesia, karena “tidak ada barokahnya”.

Dengan anekdot yang kasar, mungkin bisa dikatakan jika seorang peneliti yang bisa menghasilkan beragam penelitian dan jurnal ilmiah internasional itu “kurang bisa menyenangkan masyarakat karena tidak lucu.” Yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia adalah sebuah gelak tawa, penampilan dagelan dan guyonan tanpa batas yang bisa membuat mulut terus tertawa.

Jadilah seorang dai, lalu tempeli-lah identitas panggung anda dengan sebutan yang unik, lucu dan ngetrend, semisal Gus Gendheng, Gus Gondrong, Gus-gus yang lain, atau kiai Bule, kiai Tahu-Tempe, Kiai Samber Nyowo, dan seterusnya, mungkin anda akan lebih mud alaris di pasaran. Ditambah lagi dengan strategi ceramah anda yang memiliki gairah kelucuan yang sangat dominan dibandingkan denga nisi ngajinya, maka otomatis anda akan dengan mudah berpeluang untuk menjadi idola baru masyarakat yang laris di datangkan ke pengajian-pengajian.

Salah satu ciri utama masyarakat Muslim awam Indonesia (termasuk di dalamnya adalah para sarjana muslim) adalah tidak adanya upaya keras untuk menghasilkan hal-hal yang berguna bagi masyarakatnya sendiri, seperti tehnologi komunikasi, tehnologi pertanian, tehnologi pengelolaan sampah, dan kedokteran. Apalagi jika memikirkan strategi ekonomi dan kewirausahaan, kalangan kita pasti akan dikalahkan dengan telak oleh Cina dan Israel.

Boro-boro memikirkan perkembangan sains dan ekonomi, atau mendatangkan ahli ilmu sains dan ekonomi, masyarakat muslim Indonesia lebih suka dan gemar mendengarkan ceramah-ceramah ringan penuh guyonan dari para dai yang bisa menyampaikan ilmu agama Islam dengan disertai guyonan.

Dai model dagelan itulah yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia, walaupun tidak bisa memberikan pemecahan problem pada kemiskinan, kelangkaan pupuk, korupsi di birokrasi pemerintahan, ketertinggalan generasi muda muslim dalam bidang studi kemajuan, kemaksiatan, dan apalagi standard kecerdasan internasional, karena dai yang lucu konon lebih “menentraman”, lebih “ngayemke” dan pastinya lebih dianggap menjadi solusi dari beratnya tekanan hidup karena kekalahan kondisinya itu sendiri.

Menariknya, deretan dai lucu-lucu itu, yang segera bisa viral di internet dengan dagelannya itu, akan semakin laris kala datang musim politik. Para politisi akan memanfaatkan kemampuan dagelannya, pengaruh nama baiknya, ceramah-ceramah lucunya dan sekaligus penampilan eksotisnya untuk menarik dukungan.

Masyarakat pun dibutakan dengan “kebijakan dari sang politisi” itu sendiri, entah baik atau buruk, visioner atau tidak sama sekali, yang penting politisi tersebut bisa “menang” dengan cara bersembunyi dibalik jubah para dai dagelan itu dengan harapan kelak namanya bisa ikut naik dimata masyarakat karena dekat dengan dai tersebut.

Sepanjang sejarah masa depan muslim Indonesia, kelak sampai waktu yang tidak terbatas, kondisi ini akan tetap menjadi trend, tetap menjadi sebuah pilihan bagi perkembangan peradaban Islam Indonesia.

Dalil Prediksi 2:

Masyarakat muslim Indonesia akan semakin menggemari seorang dai yang pandai bergurau dan menggunakan metode dagelan untuk berceramah, dibandingkan mengundang seorang peneliti yang gemar menulis jurnal dan mengembangkan ilmunya.(Moh. Syihabuddin)

Pos terkait