Jagatkitasama.com– Perceraian konon dibenci dan menjadi perilaku halal yang dilaknat oleh Allah, tapi faktanya perilaku perceraian ini semakin diminati dan menjadi solusi untuk memecahkan permasalahan rumah tangga.
Di Lamongan, sepanjang 2024 telah mengabulkan 2.236 kasus perceraian yang dilakukan oleh pengadilan agama Lamongan dari total 2.599 pengajuan, semuanya didominasi oleh kasus gugat cerai yang artinya pihak si-istri yang mengajukannya.
Di Bojonegoro pada 2023, dalam enam bulan telah terjadi proses gugat cerai sebanyak 1.762 kasus, semuanya lebih banyak didominasi oleh gugat cerai dari istri dibandingkan talak dari pihak suami. Dan tiap tahunya terus mengalami peningkatan paling sedikit mencapai 1.000 kasus gugat cerai.
Di Tuban pada 2023, sebanyak 2.430 kasus perceraian telah masuk ke pengadilan agama Tuban, dan hampir separoh telah dikabulkan oleh majelis hakim. Kabupaten lainnya di jawa Timur tidak perlu saya sebutkan karena ketiga kabupaten yang paling Makmur ini sudah cukup menjadi sample untuk membuktikan bahwa perceraian semakin marak dan banyak dilakukan oleh pasangan istri dan suami.
Adakah yang salah dengan statemen bahwa “perceraian adalah perilaku yang dilaknat oleh Allah”, ataukah memang laknat Allah itu hanya isapan jempol dan tidak benar-benar akan terjadi dalam waktu dekat sehingga bisa dilupakan dan diabaikan? Atau justru karena egoism hawa nafsu dan gengsi lebih utama dibandingkan dengan laknat Allah? tidak ada jawaban yang pasti, karena bisa jadi semuanya itu dibenarkan dan memang benar adanya.
Dalam beberapa tahun kedepan, dalam beberapa windu ke-depan dan dalam satu hingga dua generasi ke depan (2045) perceraian akan tetap menjadi solusi yang ditempuh oleh sebagian besar istri untuk berpisah dengan suaminya.
Banyak faktor dan alasan yang menyebabkan perceraian itu terjadi dan diajukan oleh pihak istri, diantaranya adalah (a) semakin mapannya kondisi ekonomi istri pada pekerjaannya, (b) godaan istri oleh pria lain yang lebih kamur sedangkan suaminya pengangguran, (c) enggan untuk dipoligami walaupun solusinya halal, dan sebagian besar (d) kebodohan dari kedua pasangan yang menikah didasari atas hawa nafsu dan keinginan seksual.
Perempuan lebih tangguh
Fakta dewasa ini perempuan-perempuan lebih tangguh dalam berkerja dan lebih siap melakukan tanggungjawab untuk menghasilkan uang demi anak-anaknya, sedangkan para suami cenderung pasrah dan terlihat lemah dengan kondisinya yang tidak bisa menghasilkan uang. Perempuan siap untuk menjual apa saja asalkan halal, sedangkan para suami kebanyakan berfikir dan ujung-ujungnya menghabiskan makanan untuk menghidupi dirinya sendiri.
Jangan heran jika para istri pada akhirnya akan jemuh dan jenuh melihat “kebodohan suaminya” yang tidak bisa melakukan hal-hal yang berguna. Alih-alih mencari pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang, kebanyakan suami malah berlari ke warung kopi untuk menghabiskan waktunya dengan menonton hal-hal yang tidak berguna.
Pria kaya lebih seksi dan berwibawa
Pikiran kotor dan rusak para istri adalah kala mereka melihat seorang pria kaya dengan uang banyak dan memiliki banyak asset, lalu berupaya membanding-bandingkannya dengan suaminya. Alhasil suaminya jelas kalah dan posisinya akan tergeser.
Seorang istri yang mentalnya lemah dan pikirannya tidak waras pasti akan memilih melepaskan suaminya dan lebih memilih untuk mendekati pria yang lebih kaya dan lebih mapan. Karena pria dengan banyak uang dan banyak kendaraan mewah itu lebih seksi dan berwibawa dimata semua perempuan yang sudah bersuami—punya anak dan gengsinya dipompa oleh keinginan yang tidak terkontrol.
Daripada memilih lelaki yang pengangguran dan sudah menjadi pasangannya, lebih baik menukarnya dengan lelaki yang lebih mapan adalah cara-cara yang kelak akan banyak dipilih oleh perempuan yang berpendidikan rendah, berotak kurang waras, dan keilmuannya sedikit. Kebanyakan perempuan jenis ini adalah kaum muda yang hanya memikirkan gengsi dan kenikmatan dalam berpakaian mewah—rempong.
Poligami sebagai ancaman, bukan solusi
Kendati poligami merupakan hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan oleh setiap generasi manusia—dari zaman ke zaman, dan menjadi sebuah kewajaran bagi peradaban manusia (para nabi Allah), tetap saja pengaruh pemikiran kafir-barat-eropa-feminisme menjadi pegangan sebagian besar pasangan muslim dari pihak istri. Para istri tidak rela untuk dipoligami dan enggan menerimanya dengan lapang dada.
Generasi istri saat ini, yang dibentuk oleh media internet dan oleh sinetron yang tidak mendidik mental cerdas telah mendominasi pikiran mereka, sehingga melakukan “perceraian” menjadi solusi terbaik untuk membuang suaminya.
“Dari pada dipoligami saya lebih rela suami saya melakukan selingkuh dan tidur dengan wanita lain, sekalipun wanita itu pelacur.” Begitulah ucapan yang pernah saya dengar dari mulut seorang istri yang sangat membenci poligami. Istri model inilah yang hatinya telah dibimbing iblis dan wajahnya kelak di alam kubur akan berwujud setan bertanduk di dahinya.
Poligami merupakan solusi halal dan diperbolehkan dalam kalangan muslim, tapi para Muslimah sendiri kebanyakan menolaknya dan membencinya hingga menjadi topik yang paling sensitif di kalangan pembicaraan para perempuan dewasa.
Pasangan demi hawa nafsu
Tidak sedikit menikah dan pernikahan yang dijalani oleh kalangan muda muslim hanya karena menginginkan hubungan seks cepat terlaksana dan bisa dilakukan, tanpa memikirkan tanggungjawab dan keberlanjutannya. Mereka menikah hanya ingin cepat-cepat terlihat “laku” dan bisa terlihat berjalan “bareng” kala datangnya masa idul fitri.
Mereka tidak pernah berfikir jika menikah memerlukan persiapan dan kematangan ilmu dari kedua belah pasangan, kedewasaan berfikir, kebijaksanaan melangkah, dan kecenderungan untuk membangun rumah tangga yang baik. Mereka hanya menikah sekedar untuk menikah dengan pemahaman dan wawasan yang sangat minim sekali dan lemah sekali, sehingga mudah dipecah belah dan dirusak oleh kondisinya sendiri.
Pasangan muda muslim jenis ini akan segera melakukan perceraian kala menghadapi pertengkaran, tidak pernah bisa berfikir jernih dengan tenang. Mereka akan mengedepankan kemarahan dan lebih suka menunjukkan dirinya jika “berani untuk bercerai”.
Kebanyakan perempuan dewasa ini, atas didikan media internet akan memilih “berceria” dengan bangga, karena lelaki yang “lebih baik” akan lebih cepat didapatkan dan lebih banyak yang dipilih—seperti itulah cara berfikir mereka.
Dengan kata lain, dimasa depan perceraian muslim Indonesia akan tetap melimpah dan akan tetap memenuhi tumpukan dokumen pengadilan agama dibandingkan dengan tumpukan saham yang dimiliki oleh pasangan muslim.
Dalil Prediksi 1:
Jumlah pengajuan gugat cerai dari istri akan semakin banyak selama waktu yang tidak bisa ditentukan dibandingkan talak dari suami. Penyebabnya banyak suami yang semakin lemah dan dianggap tidak berdaya dengan realitas yang ada dan semakin egoisnya perempuan dengan pekerjaan mapannya. (Moh. Syihabuddin)