Jagatkitasama.com – Terkadang banyak uang itu bisa mengantarkan seseorang pada kesombongan dan sikap merasa “paling bisa” dibandingkan yang lainnya. Jika kalian punya uang, tetaplah bersikap biasa seolah kamu tidak memegang apa-apa. Sebaliknya jika kamu tidak punya uang, bersikaplah biasa saja layaknya kamu memegang uang. Tidak ada gunanya kamu menunjukkan kemiskinan dan kekayaanmu.
Selama kamu mempunyai uang jangan sekali-kali melupakan orang yang pernah menolongmu saat kamu masih pada kondisi miskin dan belum punya uang. Tetaplah menjalin silaturrahim dan hubungan yang baik dengan orang yang pernah menolongmu dikala kau membutuhkan uangnya dan jangan pernah melupakannya.
Sehubungan dengan hal ini saya mempunyai cerita menarik tentang seorang sahabat yang mempunyai uang dan kemudian kondisinya jatuh tersungkur miskin, tapi dia tetap berpenampilan biasa, normal layaknya orang yang tidak pernah miskin.
Sebut saja namanya Mr. Han, dia pria yang sangat gemar belajar, suka membaca riset koran kompas, rajin mengamati laporannya majalah tempo, dan selalu meningkatkan kinerjanya pada pekerjaan. Saya sangat mengagumi sahabat saya ini, karena kegemarannya membaca buku.
Pekerjaan adalah sebagai seorang peneliti di sebuah institusi pemerintah yang mendapatkan gaji yang sangat besar dan sangat cukup untuk membiayai dirinya. Gajinya dikumpulkan di sebuah tabungan, untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosialnya sekaligus untuk menggapai jenjang Pendidikan yang lebih tinggi.
Uang yang dikumpulkannya bisa digunakan untuk membiayai kuliahnya, membiayai kuliah istrinya, membiayai kuliah beberapa teman yang kesulitan untuk membayar uang semesterannya. Dia juga menyediakan uangnya untuk anak-anak yang mau menulis bukunya sendiri dan dia akan membantunya menerbitkannya dengan uang celengannya.
Dia mempunyai seorang istri yang sangat dicintainya, yang dipandang sebagai sosok malaikat cerdas yang bisa memberikan kemanfaatan bagi dirinya dan bisa pula berguna membangun masa depannya.
Pada suatu ketika, dikala sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya istrinya tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tidak pernah dipikirkannya. “Mas, aku ingin kuliah lagi?”
Mr. Han tersenyum, seolah tidak pernah terpikir dalam benaknya, “Beneran kamu ingin kuliah lagi, kemarin bilang mau memprogram punya anak?”
“Tidak dulu kayaknya, aku ingin kuliah lagi saja.”
“Baiklah kalau begitu. Berapa uang yang dibutuhkan untuk membiayai kuliahmu, sayang?” katanya.
Istrinya menjawab dengan perhitungan yang maksimal. “Paling tidak membutuhkan uang 50 juta lebih, bisa kurang.”
“Ya sudah, sekarang persiapkan dirimu untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi. Semoga itu menjadi jalanmu yang menguntungkan dan diberkahi oleh Dzat yang menciptakan Alam semesta.” Kata Mr. Han.
“Baiklah saya, terima kasih.”
Beberapa bulan kemudian, istrinya pun berangkat ke Jerman untuk kuliah, mendapatkan beasiswa jalur prestasi yang hanya dirinya saja yang lolos seleksi dari 300 orang.
Selama empat tahun istrinya menempuh program S3 (doctoral) di Jerman, aktif melakukan riset dan mengerjakan penelitiannya. Mr. Han membantu membuatkan jurnal-jurnal ilmiahnya dan membantu mencarikan referensi buku-buku yang dibutuhkan istrinya.
Di tengah kesibukannya menyelesaikan pekerjaannya, yang membutuhkan konsentrasi dan fokus yang serius, Mr. Han harus berjuang keras membantu istrinya untuk bisa menyelesaikan disertasinya dan harus mengurangi jam tidurnya.
Pada siang hari Mr. Han harus berkerja untuk menyelesaikan pekerjaannya di lembaga pemerintahan, lalu di sore hari dia harus membaca buku-buku dan koran kompas untuk mencari informasi yang dibutuhkan oleh istrinya. Lalu di malam hari dia harus berjuang dengan santai, tenang, rileks dan nyaman menulis beberapa artikel yang berhubungan dengan penelitian istrinya.
Begitulah aktivitas Mr. Han tiap hari, jika sedang pikiran tenang, bekerja sekaligus membantu riset penelitian bahan disertasi istrinya.
“Mas, waktunya membayar kuliah, tolong siapkan uangnya geh!” kata istrinya melalui pesan watshapp, kala waktu pembayaran sudah datang.
“Iya, dik. Uangnya sudah saya siapkan.” Jawab Mr. Han. “Tunggu ya, sabar.”
Empat tahun kemudian, setelah melewati berbagai kejenuhan menulis artikel, kelelahan berkerja dan mengerjakan riset, kemarahan teman kerja, problem di kampus, dan segala hal yang menyakitkan, akhirnya istrinya bisa lulus kuliah dengan baik. Nilainya bisa menggapai pada nilai yang cukup membanggakan dan bisa layak untuk digunakan mendapatkan tempat yang bermanfaat di institusi negara.
Beberapa hari setelah wisuda, istrinya bicara pada Mr. Han. “Mas, aku sudah lulus. Tapi sepertinya aku tidak pulang dulu ke Indonesia. Aku akan mencari pekerjaan disini saja, di Eropa.”
Mr. Han terdiam, pikirannya mulai sedikit terganjal. “Lha, apa kita tidak punya anak dulu, setelah itu baru kamu akan mencari pekerjaan?”
“Tidak mas, aku akan kerja dulu. Siapa tahu nanti pekerjaanku ini bisa membantu kamu dan bisa mengumpulkan uang.” Tegas istrinya yang tidak bisa dicegah.
Tanpa berfikir lama-lama, dan karena sudah memahami karakter istrinya maka Mr. Han mengizinkan istrinya tetap di Jerman untuk menikmati suasana nyaman di Eropa. “Ya, sudah, kamu tetap di Eropa saja. Carilah pekerjaan yang cocok sesuai dengan keinginanmu.”
Setelah melalui proses lamaran yang berat, seleksi yang ketat, dan kerja keras yang disiplin akhirnya istrinya Mr. Han diterima kerja di sebuah institusi kedutaan besar RI di Jerman, dia bertugas mempromosikan pariwisata di Indonesia ke seluruh eropa.
Istri Mr. Han adalah orang yang sopan, bicaranya sangat menyenangkan banyak orang, termasuk orang yang tekun dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dia juga digemari oleh banyak orang karena cepat memahami karakter orang Eropa-Jerman dan diterima oleh banyak kalangan negara sahabat. Tidak heran jika pada akhirnya Ny. Han menjadi orang yang mendapatkan banyak project dan akhirnya bisa mengumpulkan banyak uang.
Di Jerman nyonya Han bisa menikmati kehidupan yang layak melebihi suaminya sendiri. Dia bisa hidup di sebuah apartement yang indah, megah dan bersih. Bisa datang kapan saja ke salon kecantikan untuk keramas, facial, potong kuku, luluran, pijat relaksasi dan sekaligus jalan-jalan menikmati ragam kuliner di mall-mall keren di Berlin.
Pada mulanya kehidupan jarak jauh Mr. Han dan istrinya berjalan biasa-biasa saja, berjalan normal seolah tidak ada halangan untuk menjalin cinta yang dipisahkan oleh benua. Keduanya tiap malam bergurau di telpon, membicarakan isu-isu internasional yang sedang meledak dan menjadi perbincangan global, mulai dari serangan Ukraina ke Kursk (Rusia), Kekalahan Israel di Gaza, kematian Presiden Iran, kerusuhan di Inggris, populisme di Eropa, kemunculan Islamphobia di Eropa sampai konspirasi Nato untuk menjerumuskan Rusia ke dalam perang panjang yang melelahkan di Ukraina Timur.
Isu hubungan Cina dan Amerika yang memanas, Afghanistan di tangan pemerintahan Taliban, kehancuran Gaza oleh serangan IDF, bantuan-bantuan yang masuk ke Gaza dari Indonesia, serta peran-peran penting Angela Merkel setelah tidak lagi aktif sebagai kanselir di Jerman, tidak pernah lepas dari perbincangan kedua pasangan ini.
Melalui telpon Mr. Han dan istrinya seperti membicarakan sebuah materi kuliah Hubungan Internasional, sehingga keduanya tidak pernah lepas dari pena dan buka kala sedang menelpon.
Dari istrinya yang sangat berpengalaman di Jerman, Mr. Han pun mendapatkan banyak fasilitas gratis yang sangat menguntungkan. Seperti berlangganan internet, berlangganan Netflix—sehingga tidak lagi butuh menonton film di youtube, dan tentunya akses-akses bantuan internasional. Bagi Mr. Han, istrinya selayaknya seorang bidadari malaikat yang menurunkan ilham dari langit.
Tapi tidak lama kemudian, bersamaan dengan kecurangan presiden untuk memaksakan putranya menjadi wakil presiden, lalu upaya mengubah konstitusi agar putra keduanya bisa menjadi gubernur, disertai dengan kerusuhan di berbagai daerah oleh berbagai elemen mahasiswa—tepat buku ini ditulis, hubungan jarak jauh yang tidak sehat yang dialami Mr. Han dengan istrinya mulai goyah. Angin kencang perpisahan mulai mengganggu ketenangan keduanya.
Tidak ada angin dan tidak ada mendung, tiba-tiba hujan turun. Istri Mr. Han tiba-tiba mengirim pesan melalui watshapp.
–Mas, aku sudah lelah dengan hubungan kita. kita harus mengakhirinya disini, kita tidak perlu melanjutkannya lagi–.
–Maksudmu apa? Kau ingin membuangku setelah kamu merasa berhasil di Jerman?–. Jawab Mr. Han.
–Sepertinya itu yang aku maksud, aku sudah lelah menjalani kehidupan yang tidak normal ini, sebaiknya kita jalani kehidupan kita masing-masing saja–. Tegas istrinya.
Mr. Han berusaha tenang untuk tidak melampiaskan kemarahannya.
–Kondisi saat ini aku memang sudah tidak seperti dulu lagi. Aku sudah tidak berkerja dan melepaskan semua jaringan pekerjaanku, karena aku sudah melihat kamu sudah cukup makmur untuk membiayai kehidupan kita.
Aku memang sangat bergantung pada uangmu, karena pekerjaanmu sudah semakin banyak menghasilkan uang. Tapi bukan berarti setelah kamu menjadi kaya dan banyak uang pada akhirnya harus membuangku–. Mr. Han berusaha menjelaskan pada istrinya.
–Mas, aku tidak bisa mengatakan kalimat yang paling tepat untuk mengatakan hal ini. Tapi aku terpaksa menggunakannya bahwa kau sudah tidak layak dan tidak level hidup denganku. Kau seorang peneliti yang terbuang, penulis yang bukunya tidak akan pernah laku terjual, penulis yang tulisannya hanya dinikmati oleh orang yang bodoh, dan pria lemah yang sudah tidak bisa menghasilkan uang. Lalu apa yang aku harapkan dari dirimu?–. (Moh. Syihabuddin)