Mr. Han dan Istrinya yang Kaya, Kisah Sebuah Penghinaan Karena Pengaruh Uang (2)

Mr. Han dan Istrinya yang Kaya, Kisah Sebuah Penghinaan Karena Pengaruh Uang (2)
“Ada seorang pria yang seumuran dengannya, lebih tampan dan kaya, lebih rapi dan elegant, lebih karir dan formal, dan yang pasti lebih atletis dan kuat, dari pada aku yang sudah mulai melemah dan tidak lagi bisa memiliki uang. Istriku menjalin asmara dengan lelaki itu dan mulai membuangku tanpa proses yang adil. Mereka menikah di Berlin dan tinggal di Wina.”

Jagatkitasama.com – Mr. Han menghela nafas kala membaca chating istrinya, berusaha tidak terpancing oleh godaan setan-kemarahan.

Beberapa saat kemudian istrinya mengirim chat lagi.

Bacaan Lainnya

–Mas, asal kau tahu. Pengorbananku sepertinya sudah cukup, sudah banyak uang dan harta kekayaanku yang kuberikan padamu. Sudah banyak modal yang kuberikan padamu, tapi kamu tetap saja pria lemah yang miskin dan tidak bisa bangkit dari keterpurukan. Sebagian emas-emasku juga sudah kuberikan padamu agar kau bisa mengembangkan usaha, tapi tetap saja kamu menghabiskan uang itu untuk biaya hidupmu. Jujur saja, kamu pria lemah yang tidak pantas hidup tenang denganku mas, yang sudah mencapai derajad setinggi ini. Aku sudah cukup tidak kuat untuk melihat kemiskinanmu–. Tegas istrinya dengan kejujuran yang paling terbuka.

Mr. Han menjawab chating istrinya, –Dik, apa tidak sebaiknya kita bicarakan hal ini baik-baik dulu di Indonesia, atau aku yang ke Jerman? Agar permasalahan bisa dipecahkan dengan solutif–.

–Tidak, sudah cukup. Biaya ke Jerman sangat mahal yang tidak bisa kau biayai dengan kondisi miskinmu–. Jawab istrinya.

–Begini lho sayang, memang hari ini aku sudah miskin dan tidak lagi mampu bekerja seperti dulu. Tapi setidaknya aku-kan suamimu, dan aku pernah menjadi orang yang penting mengawal perjalanan suksesmu. Apakah itu tidak cukup penting untuk menjaga hubungan kita?–.

 Dengan cepat dan tegas istrinya menjawab, –Tidak cukup, karena aku sudah membayar semua pengorbananmu dengan apa yang selama di Jerman kukirim padamu. Aku juga sudah membelikanmu baju-baju yang pantas, buku-buku yang berkualitas, dan mengajak makan kamu di restoran-restoran langganan pejabat internasional. Kukira semua itu sudah impas untuk membeli cintamu padauk yang sudah tidak lagi bisa kunikmati–.

–Sayang, kudoakan semoga kamu tetap sehat dan selalu terjaga dalam kewarasan berfikir. Tetaplah tenang dan jangan memutuskan segala sesuatunya dengan kemarahan–. Mr. Han masih berusaha menenangkan istrinya.

Taklama itu nomor telponnya Mr. Han diblokir, istrinya tidak bisa lagi dihubungi. Sejak itulah Mr. Han kehilangan segala hal yang dimilikinya. Mr. Han tidak bisa menikmati Netflix lagi, tidak bisa mendapatkan paketan internet lagi—butuh krim naskah harus ke warung kopi, dan mulai kehilangan banyak jaringan hibah internasional.

Mr. Han berhutang uang pada temannya, hanya cukup untuk membeli tiket ke Jerman. Dia tetap akan berusaha memperjuangkan istrinya agar kembali ke pelukannya—dan itu cukup melelahkan pikiran dan tenaganya.

Selama satu pekan Mr. Han ke Jerman untuk mencari istrinya, tapi istrinya tidak bisa ditemuinya lagi. Apartement yang dulunya disewa sudah tidak lagi digunakan—kemungkinan pindah apartemen.

Mr. Han bertanya ke kantor KBRI di Berlin, tapi disana tidak ada orang yang bisa memberikan keterangan yang jelas terkait dengan kehadiran istrinya. Semua orang seolah memberikan dukungan kepada nyonya Han agar memutuskan hubungannya dengan Mr. Han dan menikmati kehidupan di Jerman.

“Pak, saya tidak tahu keberadaannya orang yang bapak maksud. Karena beliau tidak lagi berkerja di kantor ini.” Kata sesorang staf kantor KBRI yang ditanya oleh Mr. Han.

Mr. Han tidak putus asa mencari istrinya, dia terus berjuang untuk menjadi pria yang pemberani dan tidak menyerah untuk menyelesaikan masalahnya. Setiap kota besar di Jerman yang memiliki komunitas orang Indonesia didatanginya, siapa tahu ada istrinya. Mulai dari Hamburg, Aachen, Munchen, Frankfurt, sampai ke Dresden.  

Setelah satu pekan mencari dan berjuang, akhirnya Mr. Han berhasil menemukan istrinya di Wina—Austria, yang sudah tidak lagi sama dengan istrinya dulu yang dilihatnya dan dicintainya—istri berubah menjadi sosok iblis perempuan sombong yang sangat dilaknati.

Mr. Han pulang ke Indonesia dengan hati remuk dan hancur. Pikirannya kacau dan kecerdasannya luntur, tidak bisa leluasa mengerjakan tugas-tugas lepasnya.

Hingga pada suatu ketika, saya sedang santai menulis materi buku ini di sebuah warung kopi di Paciran, saya melihat Mr. Han duduk sendirian di warung kopi itu sambil menikmati kopinya.

Saya menghampirinya dan menyapanya, dia masih ingat saya cukup jelas. Kami berdua pun melepaskan rasa rindu karena lama tidak berjumpa. Bercerita banyak hal tentang perjalanan yang sudah kami tempuh sebagai seorang santri yang gemar menulis dan membaca buku—walaupun sama-sama kesulitan menjual buku di era internet sekarang ini.

Hingga akhirnya, tanpa saya memintanya dan menanyakannya Mr. Han tiba-tiba bercerita tentang istrinya.

“Aku sudah tidak lagi bersama istriku. Dia sudah kaya, makmur, bisa menjalani ibadah umroh dan sudah merasa membayar semua perjuanganku terhadapnya. Kau tahu orang yang hidup di desa-desa Sunan Drajad, sangat menjunjung tinggi orang yang bisa berangkat ke Mekkah melebihi orang yang berilmu. Bisa ke Mekkah dianggap sudah cukup bebas dari api neraka.” Kata Mr. Han dengan sedikit mengetuk-ketuk meja warkop.

“Ada seorang pria yang seumuran dengannya, lebih tampan dan kaya, lebih rapi dan elegant, lebih karir dan formal, dan yang pasti lebih atletis dan kuat, dari pada aku yang sudah mulai melemah dan tidak lagi bisa memiliki uang. Istriku menjalin asmara dengan lelaki itu dan mulai membuangku tanpa proses yang adil. Mereka menikah di Berlin dan tinggal di Wina.”

“Kau melihatnya sendiri?”

“Iya, aku melihat mereka sudah hidup bersama di sebuah apartemen mewah dengan fasilitas yang cukup lengkap. Hidupnya lebih makmur dan lebih sejahtera, dibandingkan hidup denganku dulu. Gajinya sudah tembus 100 juta perbulan, jauh dari penghasilanku yang sehari saja terkadang hanya cukup untuk berbuka puasa.

“Dia sudah kaya, sehingga merasa tidak pantas hidup denganku. Dia sudah pernah ke Mekkah sehingga merasa lebih berharga dibandingkan denganku yang hanya mengandalkan suluk i’tikaf di masjid-masjid di Indonesia. Dan yang jelas dia sudah kelas tinggi yang pasti sudah tidak pantas dengan penulis santri yang hidup di kampung.”

Saya hampir saja terpancing marah dengan ceritanya Mr. Han, ingin rasanya mengutuk dan menusuk-nusuk istrinya Mr. Han dengan pedang katana hingga penuh luka dan mati. “Dia wanita yang baik, siapa sangka dia berubah menjadi iblis seperti itu, mas?”

“Itulah kang, uang selalu mengubah segala hal. Uang sudah menjadi sosok dewa yang bisa mengatur arah kehidupan setiap orang. Seorang istri yang cantik akan cepat-cepat mengubah cintanya hanya karena merasa sudah lebih kuat dan lebih hebat dibandingkan suaminya.”

“Maksudmu, setiap perempuan hanya dibutakan dan dibunuh hatinya dengan uang?” tanya saya penasaran.

“Benar, itu fakta yang terjadi di dunia ini. Setiap perempuan tidak jarang yang akan berubah menjadi sosok iblis kala dirinya sudah mendapatkan uang lebih. Apalagi jika ditambah dengan kehidupan suaminya yang tidak lagi mampu menghasilkan uang, pasti itu jalan terbaik untuk membuang suaminya dan beralih ke pria lain yang lebih kaya.” Jawab Mr. Han dengan airmata yang mulai menetas dan tangan yang memegang cangkir kopi, lalu meminumnya.

“Tapi mau apalagi jika segala hal ini adalah miliknya Allah, semuanya akan kembali kepada Allah dan akan hilang menyatu dengan alam semesta.” Mr. Han menambhakan, “Sehingga istriku yang berani meninggalkan aku dengan alasan dia lebih makmur dan kaya adalah sudah kehendak Dzat pencipta alam semesta ini, maka tidak selayaknya aku memikirkannya terlalu jauh dan terlalu bersedih.”     

Saya menatapa mata Mr. Han dan merasa melihat sosok lelaki yang berusaha bertahan dari kerapuhan hatinya. Dia melanjutkan bicaranya dengan keteguhan hati yang dipaksakan tetap kuat dan perkasa. “Kata-kata terakhir yang kudengar darinya, kala aku menemuinya di Wina adalah sesuatu yang menyakitkan. Dengan berkata,

Han, kau jalani sendiri kehidupanmu di Indonesia yang miskin, melarat, tertinggal dan tidak pernah mengalami kemajuan itu. Jangan libatkan aku dalam kehidupanmu yang tidak menarik itu, aku akan menempuh kehidupanku sendiri. Sepertinya kita sudah cukup jauh dan sudah cukup aku sukses menjalani hidupku tanpamu.

“Aku waktu itu menjawab dengan tenang untuk menyakinkan hubunganku dengannya,

‘sayang, jangan pernah menghargai cinta dengan harta, kelak kau akan mendapatkan kehancurannya. Cintaku padamu tidak pernah bisa diukur dengan waktu, usia dan harta. Aku sepenuhnya mencintaimu dan menjadikan bagian hidupku adalah kehidupanmu.’

Tapi kata-kata itu tidak memang untuknya. Dia tetap menolak kondisiku dengan kata-kata yang lebih kasar padaku.”

Han, kau jangan mengalihkan pembicaraan yang tidak lagi layak lagi kubicarakan dengan kemiskinanmu. Sadarlah bahwa kau itu miskin dan berkekurangan. Kau seharusnya sadar bahwa cinta adalah uang dan uang adalah penyebab timbulnya cinta.

Kamu jangan membangun mimpi yang tidak pasti padaku dan hidup dalam alam khayalan yang tidak nyata untuk kau berikan padaku. Kau hanya bisa membaca buku, tapi tidak pernah bisa mewujudkan apa yang disampaikan dalam gagasannya. Maka sudah cukup, kita berhenti disini.’ Dan sejak saat itulah aku sudah menyerahkan urusanku ini kepada Allah dan Rasulnya, aku tidak lagi mampu menghadapinya dengan kekuatanku yang terbatas ini.” Tegas Mr. Han dengan helahan nafas yang lemah.

“Lalu, apa yang sekarang kau tekuni mas Han?” tanyaku.

“Mejalani hidup seolah-olah dunia ini milikku. Kukira itulah yang menjadikan aku tetap merasa kaya.” (Moh. Syihabuddin)

Pos terkait