Pijakan Peradaban Islam yang Menentukan, Menerima Penderitaan dan Menolak Balas Dendam

Pijakan Peradaban Islam yang Menentukan, Menerima Penderitaan dan Menolak Balas Dendam
Baik penduduk Thaif maupun penduduk Mekkah sepeninggalannya Rasulullah menjadi orang-orang yang aktif membangun islam sebagai sebuah kekuatan yang tak terkalahkan, menggerogoti pelan-pelan kekuasaan dua kerajaan besar di dunia (Byzantium dan Sasania) dan sekaligus meruntuhkan dominasi pemikiran orang Yahudi-Nasrani yang penuh dengan kepalsuan-kebohongan.

Jagatkitasama.com – Apa yang kita kerjakan hari ini bukan hanya untuk kita, tapi juga diperuntukkan anak-anak penerus kita dan generasi terbaik di masa depan yang mampu berjuang untuk kebaikan dan kemanfaatan banyak orang. Tetaplah berkerja keras dan berikanlah yang terbaik untuk bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, niscaya kesejahteraan dan kelimpahan akan terus mengalir dan bertambah.

Di zaman jahiliyah, pada awal Rasulullah menyampaikan ajaran keimanannya tentang Rabb-Nya dan kerasulannya, banyak rintangan dan tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah hingga kondisinya sangat memprihatinkan dan penuh dengan kemelaratan, hanya demi menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Allah.

Bacaan Lainnya

Setelah ajakannya ditolak oleh para pembesar Qurasy di kota mekkah, dan akan menghadapi ancaman pembunuhan dari para pembencinya, Rasulullah mengalihkan perjuangannya ke kota tetangganya, di Thaif.

Di kota tersebut ada beberapa keluarganya Rasulullah dari jalur ibunya, yang diharapkan bisa memberikan dukungan kepada Rasulullah untuk mendukung beliau menjadi seorang utusan Allah.

Rasulullah datang ke kota Thaif, menemui para pembesar suku di kota tersebut. Rasulullah pun mengajak para pembesar tersebut untuk mengikuti ajarannya—yang merupakan ajarannya para nabi terdahulu. Rasulullah juga menyampaikan bahwa dirinya adalah seorang Rasul terakhir dari para nabi sebelumnya untuk mengajak kaumnya agar bisa menyembah Allah dengan benar.

Rasulullah juga mengajukan diri untuk meminta perlindungan secara fisik dari penduduk Thaif agar berkenan melindunginya dari ancaman pembunuhan yang direncanakan oleh kalangan pembesar kafir Qurasy di Mekkah.

Bukannya direspon dengan baik dan disambut dengan suka cita—karena adanya seorang rasul dari kaumnya sendiri (bangsa Arab)—para pembesar kota Thaif mencaci maki dengan hinaan dan umpatan. Mereka mengata-ngatai Rasulullah dengan ucapan yang sangat kasar, merendahkan harga dirinya, menjatuhkan martabatnya, dan pasti menuduhnya sebagai orang yang memecah belah kaumnya sendiri.

Rasulullah pun diusir dari ruang pertemuan kota Thaif dan tidak diinginkan untuk tinggal serta mendapatkan perlindungan dari orang di kota Thaif.

“Pergilah kau penipu, jangan datang lagi sebagai seorang pembohong.”

“Sungguh kau telah menyampaikan sesuatu yang memecah-belah kaummu sendiri, kau sedang berimajinasi menjadi orang yang dipilih oleh Allah, saya yakin itu mustahil.”

“Sebaiknya kau keluar dari kota ini dengan penuh kehinaan dan jangan kembali lagi untuk memohon perlindungan dari kami. Kami tidak akan melindungi orang yang berusaha menghancurkan ajaran-ajaran nenek moyang kami.”

“Kami tahu kau seorang yang baik dan berhati mulia, tapi impianmu yang kau sebut sebagai seorang utusan hanyalah omong kosong dan buwalan belaka. Sebaiknya kamu berhenti bermimpi.”

Begitulah kira-kira umpatan-umpatan penduduk kota Thaif kepada Rasulullah untuk memberikan hinaan kepada beliau dan melecehkan ajarannya, serta bentuk pengusiran yang dilakukan terhadap beliau.

Dengan tangan hamba dan tanpa disertai dengan keberhasilannya, Rasulullah pun meninggalkan pertemuan tersebut.

Saat berusaha keluar dari kota, di perjalanan para berandalan muda kota Thaif terprovokasi oleh umpatan-umpatan para pembesar kota, sehingga secara spontan menyerang Rasulullah dengan melempari batu.

Sepanjang perjalanan itu banyak batu yang menghantam wajahnya, punggungnya, kepalanya, dahinya, tangannya, kakinya, pahanya, dan yang pasti tanganya banyak mengalami luka akibat menangkis batu-batu yang dilemparkan ke-arahnya.  

Entah berapa jam lamanya Rasulullah menerima hantaman batu itu, yang jelas seluruh kepalanya mengeluarkan darah segar akibat luka dan tubuhnya kelelahan akibat berlari untuk segera keluar dari kota.

Di tengah kelelahan itulah Rasulullah berteduh di bawah sebuah pohon anggur di salah satu taman milik penduduk desa di sekitar Thaif. Rasulullah kelelahan dan kesakitan, menahan darah yang terus mengalir dari kepalanya akibat hantaman batu keras ke wajahnya.

Tiba-tiba datanglah Jibril dengan wujudnya yang sangat besar, menawarkan kepada Rasulullah untuk memberikan balasan terhadap kekasaran penduduk Thaif yang dilakukan kepadanya.

“Hai Muhammad, apa sebaiknya aku jadikan gunung itu untuk kuangkat dan kujatuhkan ke seluruh kota Thaif, sehingga kota tersebut rata dengan tanah dan tidak lagi tersisa penduduknya?” Jibril menawarkan upayanya kepada Rasulullah, untuk memusnahkan orang Thaif—selayaknya kaum Tsamud dan Ad.

Jibril berharap Rasulullah menerima balasan tersebut, alih-alih Rasulullah menyampaikan kasih sayangnya terhadap penduduk Thaif. “Jangan Jibril, jangan. Jika hari ini penduduk kota Thaif itu masih membenciku, maka aku berharap kepada Allah di masa depan anak-anak mereka akan menjadi kaum yang beriman.”

“Jadi kamu tidak menginginkan balasan terhadap kekasaran dan kekerasan yang baru saja dilakukan oleh mereka terhadapmu?”

“Benar, Jibril, itulah yang terbaik bagi masa depan amanah yang kubawa ini. Jika aku memusnahkan mereka maka kelak di masa depan aku tidak akan mempunyai pengikut yang akan meneruskan ajaran-ajaran Tuhanku yang benar ini.”

Mendengar jawaban Rasulullah yang menolak untuk membalas dendam itu maka Jibril tersenyum, mengurungkan niatnya, dan malah lebih simpati terhadap Rasulullah. “Kau benar atas segala ucapan yang kau sampaikan, wahai utusan Allah.”

Beberapa tahun kemudian, menjelang kewafatannya Rasulullah kota Mekkah dan kota Thaif berhasil ditaklukkan sebagai kota yang berada di dalam kekuasaan Rasulullah—seluruh wilayah Hijaz takluk dan dikalahkan secara santun dan elegant. Seluruh penduduk kedua kota itu pun akhirnya tunduk dan patuh terhadap ajakan Rasulullah, yang pada gilirannya menjadi para panglima yang turut serta menaklukkan dua negara adi daya yang menyengkram negeri padang pasir itu, yakni Byzantium Romawi dan Sasania Persia.

Baik penduduk Thaif maupun penduduk Mekkah sepeninggalannya Rasulullah menjadi orang-orang yang aktif membangun islam sebagai sebuah kekuatan yang tak terkalahkan, menggerogoti pelan-pelan kekuasaan dua kerajaan besar di dunia tersebut dan sekaligus meruntuhkan dominasi pemikiran orang Yahudi-Nasrani yang penuh dengan kepalsuan-kebohongan.

Hal itu tidak lain disebabkan oleh sikap kasih sayang Rasulullah terhadap penduduk kota Thaif yang telah berbuat kasar kepada beliau, yang menolak untuk memusnahkan mereka dengan hantaman gunung—padahal beliau sendiri hamper saja tewas kala dilempari batu oleh berandalan-berandalan muda-mudi di kota Thaif.

Akan berbeda kisahnya jika Rasulullah mengiyakan tawaran Jibril untuk menindih kota Thaif dengan gunung agar musnah, pasti Islam akan menuai kegagalan di masa penyebarannya dan pasti akan diingat sebagai ajaran yang penuh dengan pembalasan.    

Ingat, sekecil apapun balasan (dendam) yang menyakitkan akan memberikan dampak kehancuran bagi masa depan suatu komunitas dan menghentikan keberlangsungan dakwah robbaniyah di suatu tempat. (Moh. Syihabuddin)

Pos terkait