jagatkitasama.com – Pada dasarnya semua manusia di dunia ini dilahirkan sama dengan penciptaan yang sempurna dari Allah tanpa melihat darah, daging dan bentuk rupanya, yang membedakannya hanya kualitas keimanannya dengan bekal ketaqwaan yang dibangunnya. Selebihnya tidak ada perbedaan apapun dari setiap orang yang dilahirkan dari semua perempuan di dunia.
Namun fenomena aneh dan ironis telah melanda sebagian besar masyarakat Indonesia yang berlebihan dalam memuliakan sesamanya dengan cara memberikan hartanya secara cuma-cuma atas nama keberkahan sosok tertentu yang dibungkus dengan penampilan agamis (islam). Alhasil banyak masyarakat muslim yang tertipu dan terjerumus pada taqlid buta terhadap sosok kalangan komunitas tertentu dan tokoh tertentu.
Kondisi ini dimulai sejak kemunculan sosok ikonik berbasis tontonan seperti Ustadz Jefri, Aa Gym, Habib Syekh, pada awal 2000-an hingga akhir 2010-an.
Mendapatkan posisi tinggi dan dimuliakan secara berlebihan kalangan keluarga tertentu mulai “menjual” keberkahan atas nama “keturunan Rasulullah” kepada masyarakat dan mulai melakukan penipuan dengan dakwah berbasis konser lagu-lagu qasidah dengan tarif yang sangat tinggi.
Mereka tidak segan-segan mengatakan dirinya “lebih mulia 100 derajat” dibandingkan para kiai dan ulama Indonesia—karena mereka orang Arab sama halnya Rasulullah.
Beruntung ada perlawaanan dari kajian tesis pemikiran sarjana muslim Indonesia yang menguak kepalsuan garis keturunan mereka dan memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk tidak lagi terlalu “gila” dengan kehadiran mereka di acara-acara hajatan masyarakat muslim Indonesia.
Kendati demikian, hasil tesis permikiran salah satu sarjana muslim Indonesia yang menguak kepalsuan nasab komunitas tertentu tersebut bukan berarti benar 100%, masih harus ada kajian yang lebih lama dan lebih intensif untuk dilakukan lagi.
Tapi setidaknya, hal itu sudah menyadarkan masyarakat muslim Indonesia a) untuk bisa berfikir dengan akal sehat, b) tidak tertipu oleh penampilan “sok Arab” lebih berkah dibandingkan “kiai jawa”, c) menggunakan sains sebagai pijakan berfikir—walaupun susah, d) menerima keragama etnis sebagai fakta kehidupan di Indonesia, e) menyadari jika semua muslim adalah sama tanpa melihat bentuk tubuh, nenek moyang, darah kelahiran dan garus keturunannya. Sejak ada kajian “batalnya nasab” muslim Indonesia sedikit-demi sedikit mulai belajar untuk waspada. (Moh. Syihabuddin)