jagatkitasama.com – Di seluruh pulau Jawa khususnya, dan pada umumnya di seluruh wilayah padat penduduk di Indonesia, sudah bisa dikatakan bahwa semua masjidnya pasti megah, mewah, dan berhiaskan material yang sangat mencolok mata. Masjid-masjid dengan bangunan megah dan mewah sudah banyak dijumpai di desa-desa.
Dalam sebuah guyonan di sela-sela mengaji “Fathul Muin Malam Kamis” kiai saya, Abah Abdul Ghoni Manan mengatakan kepada saya, “masjid di Jetak saja, sudah ada empat masjid megah, padahal Jetak hanya sebuah dusun dari sebuah desa—Paciran.”
Di zaman sekarang, di era industry 4.0 dan kondisi postmodern jumlah masjid semakin mudah dijumpai di wilayah-wilayah padat penduduk Indonesia. tidak hanya desa, di setiap dusun sudah bisa dipastikan sudah ada satu masjid atau lebih yang megah dan bahkan terus melakukan pembangunan.
Kondisi ini baik dan sangat menggambarkan kondisi masyarakat setempat bahwa keberadaan masjid adalah penting bagi masyarakat tersebut dan menjadi identitas inti yang membentuk masyarakat setempat.
Kondisi tersebut juga menyadarkan kita bahwa masyarakat sudah sangat sadar sekali untuk menginvestasikan uangnya dalam bentuk infaq atau wakaf untuk pembangunan sebuah masjid. Abah Ghoni mengatakan kepada saya, “Masjid At-Taqwa Paciran setiap pekannya, setiap jumat mengumumkan hasil infaqnya yang tembus mencapai angka uang 15 juta rupiah—dan itu nilai minimal.”
Pernyataan Abah Ghoni diamini oleh Pak Kazib yang tidak lain adalah jamaah tetap di Masjid At-Taqwa Paciran. “Lima belas jut aitu belum termasuk shodaqoh lainnya, atau bentuk infaq yang lain yang diberikan secara khusus.”
Kenyataan ini semakin menjelaskan jika kebutuhan untuk pembangunan dan keindahan masjid sudah menjadi kesadaran masyarakat muslim secara umum di beberapa daerah yang padat penduduk di Jawa maupun di luar Jawa.
Di desa tempat saya mengembangkan Gerakan “Menuju Desa Literasi”-pun, di dusun Setro yang merupakan Krajan-nya desa tersebut juga mengalami hal yang sama. Infaq dan sedekah untuk masjid terus mengalir, terutama dari para aghniya’ yang meninggal dunia, atau pengusaha yang mempunyai kelebihan hartanya.
Di Karangagung, masjid al-Asyhar yang menjadi ikon bagi warga nahdliyin di distrik pesisir Palang kab. Tuban juga terus mengalami peningkatan jumlah infaq yang diterima—yang semakin menjadikan pembangunan masjid tersebut terus menerus berjalan secara massif. Keramik di perindah, bagian rusak diperbaiki, dan ada penambahan bagian yang baru dimunculkan.
Sisi Gelap Pembangunan Masjid
Akan tetapi tragisnya, dari sekian bentuk masifnya pembangunan masjid di Jawa yang semakin indah dan semakin megah, ada beberapa hal yang luput dari perhatian dan bahkan dilupakan. Padahal, bagian-bagian ini merupakan bagian utama yang bisa menjadikan masjid tersebut hidup dan memiliki ruh peradaban Islam.
Sisi tragis yang saya maksud adalah pembangunan masjid itu sendiri yang terus menerus dilakukan itu hingga masjid terlampau indah dan terlampau mewah. Memiliki alat-alat cangggih yang lengkap dan bisa juga mempunyai ruang-ruang yang terbengkelai karena tidak ada yang menfungsikannya—khususnya masjid-masjid di desa.
Masjid yang memiliki banyak uang karena menerima banyak uang infaq dari para dermawan muslim mempunyai kesempatan yang besar untuk terus menerus memperbaiki masjid dan membangun masjid sesuai dengan arsitektur yang semakin indah. Keadaan itu sampai melampaui kewajaran, yakni uang infaq terus menerus digunakan untuk mengubah bagian masjid dan terus menerus untuk memperindahnya.
Beberapa masjid, yang takmirnya hanya bisa “membangun bangunan dan memperindah bangunannya” bahkan terus menerus melakukan “pembangunan” dengan cara-cara yang kurang bermanfaat bagi kenyamanan beribadah atau aktivitas di masjid tersebut. Seperti merusak pagar lalu mengganti dengan pagar baru, merusak keramik baru lalu mengganti dengan marmer, merusak Menara lalu mengganti Menara yang baru, dan seterusnya dan seterusnya.
Akibatnya, uang infaq dari masyarakat yang diberikan kepada masjid yang sudah megah dan mewah inipun cenderung kurang bermanfaat, kurang mampu membangun kreatifitas muslim Indonesia, kurang bisa mengembangkan ilmu pengetahuan, kurang bisa berkontribusi pada peradaban islam, dan yang pasti melupakan kesejahteraan para kiai-kiai di sekitar desanya.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Tentu saja disebabkan oleh “kampanye” para kiai dan para ustadz salaf—berpandangan konservatif—yang selalu menyebarkan informasi-informasi tentang “keutamaan infaq untuk masjid” dibandingkan infaq untuk hal-hal produktif yang lainnya.
Para ustadz konservatif, yang pandangannya hanya dibentuk oleh kitab-kitab klasik abad pertengahan di Asia Barat menyebarkan informasi-informasi kepada masyarakat muslim untuk berinvestasi ke masjid agar (1) bisa “mendapatkan rumah di akhirat”, (2) pahalanya terus mengalir walaupun sudah meninggal dunia, (3) menjadi penangkis segala kerusakan harta dan pekerjaannya, dan yang pasti (4) menjadi jalan yang terang menuju alam barzah, hingga (5) mempermudah mendapatkan surga (Jannah).
Padahal untuk mencapai lima hal tersebut infaq dan sedekah masyarakat bisa disalurkan ke hal-hal yang lainnya yang lebih bisa berkontribusi pada pembangunan peradaban islam.
naskah diskusi dilanjutkan pada naskah “lima hal yang harus “dibangun oleh Ta’mir dari uang infaq masyarakat, setelah masjid terbangun megah-indah-mewah” (Moh. Syihabuddin)